Setiap orang
mempunyai angan-angan, pun dengan diriku saat ini, satu hal yang menjadi
anganku adalah seperti halnya anak-anak yang lain, yaitu ingin membahagiakan
orang tua. Orang tua yang telah merawatku selama dua puluh tiga tahun. Orang
tua yang merawat dengan segala dinamika sifat anak-anaknya, apalagi ibu yang
mengurusku sebagai single parent, setelah ayah meninggal lima tahun
yang lalu.
Kebahagiaan itu
bagiku, sebagaimana anak-anak lain , dari tipe santai dan cuek, sampai tipe serius
macam anak kuliah pendidikan macam aku, terejawantahkan pada sebuah kata.
Pengabdian. Kata pengabdian banyak dimaknai bervariasi dari komunikasi orang
tua dan anak, tapi ibu tidak meminta banyak: lebih banyak waktu bersama di masa
lanjutnya.
Sejak ayah
meninggal dunia, ibu pasti merasa hidupnya bertambah sepi, terlebih saat ini,
aku anak semata wayangnya memang sedang sibuk-sibuknya kuliah ditahun akhir,
baru selesai praktik pengabdian masyarakat selama satu bulan di luar kota,
sekarang deadline proposal skripsiku menunggu di sidangkan.
Impian mahal
untuk lebih banyak meluangkan waktu bersama ibu menjadi semacam obsesi bagiku.
“Bu, kalau
kuliah karisma sudah selesai, karisma nanti temenin ibu, karisma janji akan
lebih sering di rumah.”
“Sepanjang hari
ya?!.”
“InsyaAllah
bu.”
“Semoga kuliah
mu cepat selesai ya ris.”
Janji yang
mengiris-iris hatiku, karena sampai saat ini aku masih berkutat dengan kegiatan
kuliahku, aku menjadi pengutang terhadap janji-janjiku sendiri. Proposal
skripsiku disetujui, kini bimbingan dan penyusunan skripsiku membenturkan
anganku pada sebuah ilusi belaka.
Antara Sore Yang Tenang, Gladiol, dan Masakan Ibu
Kala itu, lampu
di beberapa ruangan rumah telah menyala, karena malam akan datang menjelang.
Harum nasi yang dinanak ibu, berpadu dengan sambal terasi, sayur asem, dan ikan
asin kesukaan ibu memanggil ususku untuk segera makan.
Aku yang baru
tiba di teras rumah merasa kembali hidup, disambut gladiol, bunga kesayangan ibu
yang tampak sedang merekah. Setelah berkutat dengan beberapa buku rekomendasi
pembimbing skripsi untuk menunjang penelitianku.
Bimbingan
skripsi selanjutnya kemungkinan akan on line, mengingat suasana
Indonesia yang akhirnya mengalami nasib yang sama dengan negara-negara lain,
terkena wabah pandemi korona. Walaupun di kota kecil seperti Sukabumi, isu itu
belum terlalu menghangat, tetapi dosen pembimbingku sudah mewanti-wanti untuk
waspada, terlebih dengan sudah adanya dua orang yang terjangkit virus korona
secara nasional.
Ah, besok week
end..., senangnya, berarti aku bisa seharian di rumah menemani ibu.
“Assalamualaikum
bu....”
“Waalaikumsalam.”
“Harum masakan
ibu semerbak sampai teras rumah, bikin aku lapar nih bu.”
“Ayo makan yu’.”
Kami duduk di
meja makan, menikmati hidangan yang tiada duanya buatan ibu, namun sayang, di
setiap kelezatan masakannya, aku bahkan belum bisa menyempatkan waktu untuk
membantunya memasak.
Namun yang
lebih membuatku khawatir adalah, ibu tampak pucat dan beberapa kali batuk
kering ketika kami menyantap makan malam kami.
“Ibu sakit?.”
“Sepertinya ibu
kurang enak badan, tadi waktu masak tiba-tiba ibu merasa agak pusing”
“kita berobat
ya.”
“Iya, nanti
selepas salat magrib antar ibu ke klinik dokter Subhi ya.”
“ya bu.”
Klinik Dokter Subhi
Begitu nama ibu
dipanggil, aku maju membersamainya ke ruang klinik.
Aku melenggang
masuk ruangan pemeriksaan dengan tenang, memperhatikan ibu berbaring di tempat
pemeriksaan sambil sesekali diberi pertanyaan oleh dokter muda yang berusia
kisaran tiga puluh tahun. Agak kaget, ketika dokter menanyakan apakah ibu suka
merasakan sesak napas, dan ibu mengiyakan, aku merasa berdosa, karena aku
terlalu sibuk untuk mengetahui itu, bahkan ibu pun memang tidak pernah
mengeluhkan akan perihal itu.
Setelah selesai
pemeriksaan, ibu kembali duduk bersamaku menghadapi wajah dokter yang duduk di
depan kami.
“Ibu saya beri
rujukan ke rumah sakit daerah ya bu untuk pemeriksaan lebih akurat”
“Lho? Memang
ibu sakit apa dok?.”
“Belum bisa
saya pastikan, itulah kenapa saya beri rujukan, kalau bisa langsung saja
sekarang saja, bisa diantarkan ambulans klinik kami. Saya akan langsung
menghubungi pihak rumah sakit by phone untuk segera ditindak lanjuti”
Serasa terpukul
godam, berat rasanya mendengar kata-kata dokter.
Rujukan
Belum sempat
reda dari kekagetan kata-kata dokter Subhi, aku dan ibu disambut kekagetan lain
ketika tiba di rumah sakit daerah yang dirujuk dokter, tim rumah sakit yang
menghampiri kami turun dari ambulans klinik agak berbeda penampilannya pada
umumnya. Mereka berseragam serba tertutup dari kepala hingga kaki dengan dominan
warna putih, aku seperti pernah melihat seragam serupa di televisi akhir-akhir
ini.
Aku semakin keleyengan
dengan kondisi yang tiba-tiba terasa absurb, mungkinkah ibu terkena virus
yang saat ini sedang trending? ah serasa mustahil, ibu orang yang tidak
mempunyai kegiatan super, hanya kumpulan pengajian dengan ibu-ibu majlis taklim
di komplek perumahan kami.
Bertambah syok,
adalah ketika perawat mengatakan ibu harus masuk ruang isolasi selama dua
minggu, dan aku tak boleh menengoknya sama sekali. Ya Allah...
Di tengah kebingungan
melepas ibu ke ruang isolasi, perawat mempersilahkan aku untuk menemui dokter
di ruangannya. Aku ditanya sekitar kegiatan ibu akhir-akhir ini, dan aku memang
tidak tahu persis apa yang dilakukannya, hanya sekilas ibu pernah cerita kalau bu Sofia, anggota pengajian majlis taklimnya baru pulang umroh, dan membagikan
oleh-oleh khas timur tengah di waktu sebelum kajian.
Isolasi
Status ibu ditetapkan
sebagai pasien dalam pengawasan atau dikenal PDP selagi menunggu serangkaian tes
yang akan dilakukan dokter
Hari ketiga ibu
di isolasi.
Sedih rasanya tak bisa menemani ibu di saat-saat
seperti ini. Aku hanya bisa mengirim pesan singkat, menanyakan bagaimana
kondisinya di ruang isolasi.
“Alhamdulillah,
kondisi ibu stabil, walau terkadang terasa sesak nafas tiba-tiba”
Hari ketujuh,
aku video call dengan ibu, nafasnya agak tersengal-sengal, tapi dengan
raut tenangnya ibu mengatakan dia baik-baik saja
“Ibu istirahat saja dulu ya, nanti aku hubungi lagi”
Hari kedua
belas, aku mencoba menghubungi ibu, namun tak ada jawaban. Aku datang ke
rumah sakit untuk memastikan, tapi hanya bisa duduk di peron rumah sakit,
memandang lesu ruang isolasi di lorong ujung, entah bagaimana kondisi ibu saat
ini di ruang isolasi. Sakit yang tak terpatrikan, membayangkan ibu sendiri di
ruang isolasi dengan berbagai kemungkinan yang aku sulit bayangkan.
Rumah terasa
makin sepi, hanya aku sendiri. Biasanya harum khas masakan ibu yang selalu
memanggil tubuhku untuk keluar kamar dan menghampirinya ke dapur, memastikan
masakan apa yang akan dihidangkannya. Namun saat ini, kesepian rumah membuatku
bahkan tak berselera untuk makan.
Hari ketiga belas
Aku harus
bersemangat, bahkan dalam kadar lebih, untuk ibu. Hari ini aku ke warung nasi bu Cicih di dekat rumah, membeli sebungkus nasi dengan lauk pauknya, aku harus makan, aku harus kuat
“Bu, besok aku
ke rumah sakit ya”
Walau WA-ku ceklis
satu, tapi aku akan datang, meskipun tidak akan bertemu langsung, tapi aku
ingin berada di dekatnya, menemaninya, walau hanya dari lorong rumah sakit.
***
Rumah sakit
tampak ramai riuh seperti biasanya, namun ketika akan masuk, petugas keamanan
terlihat seperti sedang menempelkan selebaran pengumuman, rasa penasaran
membawaku pada kertas yang ditempel itu.
Pengumuman tentang
tidak boleh di tengoknya seluruh pasien rawat inap terkecuali penunggu dengan
maksimal dua orang dengan tanda penunggu rumah sakit, di tempel di beberapa
titik di rumah sakit ini, aku mengkonfirmasi, apakah aku bisa bisa masuk, namun
dengan nada tinggi, petugas keamanan itu menjawab tidak, sembari menunjuk
kertas pengumuman yang baru saja ditempelnya.
Dengan
lemas aku membalikkan badan, berniat kembali ke rumah saja, daripada berdebat
dengan pihak keamanan rumah sakit, pada akhirnya aku harus menyadari, mereka hanya
melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan pihak rumah sakit.
Langkah
gontaiku terhentikan dengan bunyi gawai di saku celana jeans ku, nomor yang
tertera adalah nomor rumah sakit ini.
“Dengan
mbak Karisma? Mohon maaf kami memberitahukan, bahwa ibu mbak telah meninggal,
dan jenazah akan diurus sesuai dengan standar prosedur penanganan yang telah ditetapkan......
“
Entah apa lagi
yang diucapkan suara diujung gawaiku, denyar-denyar dikepalaku kian menyiksa,
tubuhku melorot dan ambruk di teras rumah sakit, aku tak bisa bergeming dari
tempatku bersimpuh.
Pemakaman
Aku tak bisa
melihat wajah ibu untuk terakhir kalinya. Bahkan di pemakaman pun aku tak boleh
mendekat, sampai prosesi pemakaman selesai.
Hanya aku dan dua
orang paman dari ibu yang mengikuti proses pemakaman, tiada yang lain selain
petugas khusus dari rumah sakit yang mengurus pemulasaran.
Setelah semua
selesai, para petugas dari rumah sakit undur diri, tak lupa aku mengucapkan
terima kasih atas dedikasi mereka yang luar biasa, dengan seragam APD yang
lengkap, mereka sigap mengurus jenazah ibu dari penurunan peti hingga selesai
pemakaman.
Dengan menahan air mata, aku mendekat ke pusara ibu, di atas
gundukan tanah merah itu aku menyimpan gladiol, bunga kesukaan ibu.
Maka kesedihan
itu bukan lagi sebuah tatanan virtual, tapi aku harus menahannya, untuk ibu. Walau
akhirnya beberapa bulir air mata itu turun luruh dari pelupuk mataku.
“Maafkan
karisma bu, belum bisa mengabulkan permintaan ibu untuk lebih banyak waktu
membersamai ibu. Karisma bawakan bunga gladiol merah kesukaan ibu, semoga bisa menemani...”
#Cerpen
#Fiksi
Wah, gara-gara Corona lagi deh...
BalasHapusampun suhu, nembe diajar ngadamel cerpen :)
BalasHapusKereen...
BalasHapusmasih kedah seuer belajar ka bu vie :)
HapusðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ rasa sesak yg begitu mendalam bagi mreka yg terkena musibah ini...
BalasHapustenang, pasien akan ditangani semaksimal mungkin oleh dokter Subhi.... :)
HapusKreen
BalasHapusbelum sekeren cerpen nya papa brother ... hehe
Hapusmasih harus banyak belajar :)