Cerpen | Gladiol Terakhir untuk Ibu

8 komentar

cerpen cerita pendek corona

         Setiap orang mempunyai angan-angan, pun dengan diriku saat ini, satu hal yang menjadi anganku adalah seperti halnya anak-anak yang lain, yaitu ingin membahagiakan orang tua. Orang tua yang telah merawatku selama dua puluh tiga tahun. Orang tua yang merawat dengan segala dinamika sifat anak-anaknya, apalagi ibu yang mengurusku sebagai single parent, setelah ayah meninggal lima tahun yang lalu.
Kebahagiaan itu bagiku, sebagaimana anak-anak lain , dari tipe santai dan cuek, sampai tipe serius macam anak kuliah pendidikan macam aku, terejawantahkan pada sebuah kata. Pengabdian. Kata pengabdian banyak dimaknai bervariasi dari komunikasi orang tua dan anak, tapi ibu tidak meminta banyak: lebih banyak waktu bersama di masa lanjutnya.
Sejak ayah meninggal dunia, ibu pasti merasa hidupnya bertambah sepi, terlebih saat ini, aku anak semata wayangnya memang sedang sibuk-sibuknya kuliah ditahun akhir, baru selesai praktik pengabdian masyarakat selama satu bulan di luar kota, sekarang deadline proposal skripsiku menunggu di sidangkan.
Impian mahal untuk lebih banyak meluangkan waktu bersama ibu menjadi semacam obsesi bagiku.
“Bu, kalau kuliah karisma sudah selesai, karisma nanti temenin ibu, karisma janji akan lebih sering di rumah.”
“Sepanjang hari ya?!.”
InsyaAllah bu.”
“Semoga kuliah mu cepat selesai ya ris.”
Janji yang mengiris-iris hatiku, karena sampai saat ini aku masih berkutat dengan kegiatan kuliahku, aku menjadi pengutang terhadap janji-janjiku sendiri. Proposal skripsiku disetujui, kini bimbingan dan penyusunan skripsiku membenturkan anganku pada sebuah ilusi belaka.

Antara Sore Yang Tenang, Gladiol, dan Masakan Ibu

Kala itu, lampu di beberapa ruangan rumah telah menyala, karena malam akan datang menjelang. Harum nasi yang dinanak ibu, berpadu dengan sambal terasi, sayur asem, dan ikan asin kesukaan ibu memanggil ususku untuk segera makan.
Aku yang baru tiba di teras rumah merasa kembali hidup, disambut gladiol, bunga kesayangan ibu yang tampak sedang merekah. Setelah berkutat dengan beberapa buku rekomendasi pembimbing skripsi untuk menunjang penelitianku.
Bimbingan skripsi selanjutnya kemungkinan akan on line, mengingat suasana Indonesia yang akhirnya mengalami nasib yang sama dengan negara-negara lain, terkena wabah pandemi korona. Walaupun di kota kecil seperti Sukabumi, isu itu belum terlalu menghangat, tetapi dosen pembimbingku sudah mewanti-wanti untuk waspada, terlebih dengan sudah adanya dua orang yang terjangkit virus korona secara nasional.
Ah, besok week end..., senangnya, berarti aku bisa seharian di rumah menemani ibu.
Assalamualaikum bu....”
Waalaikumsalam.”
“Harum masakan ibu semerbak sampai teras rumah, bikin aku lapar nih bu.”
“Ayo makan yu’.”
Kami duduk di meja makan, menikmati hidangan yang tiada duanya buatan ibu, namun sayang, di setiap kelezatan masakannya, aku bahkan belum bisa menyempatkan waktu untuk membantunya memasak.
Namun yang lebih membuatku khawatir adalah, ibu tampak pucat dan beberapa kali batuk kering ketika kami menyantap makan malam kami.
“Ibu sakit?.”
“Sepertinya ibu kurang enak badan, tadi waktu masak tiba-tiba ibu merasa agak pusing”
“kita berobat ya.”
“Iya, nanti selepas salat magrib antar ibu ke klinik dokter Subhi ya.”
“ya bu.”

Klinik Dokter Subhi

Begitu nama ibu dipanggil, aku maju membersamainya ke ruang klinik.
Aku melenggang masuk ruangan pemeriksaan dengan tenang, memperhatikan ibu berbaring di tempat pemeriksaan sambil sesekali diberi pertanyaan oleh dokter muda yang berusia kisaran tiga puluh tahun. Agak kaget, ketika dokter menanyakan apakah ibu suka merasakan sesak napas, dan ibu mengiyakan, aku merasa berdosa, karena aku terlalu sibuk untuk mengetahui itu, bahkan ibu pun memang tidak pernah mengeluhkan akan perihal itu.
Setelah selesai pemeriksaan, ibu kembali duduk bersamaku menghadapi wajah dokter yang duduk di depan kami.
“Ibu saya beri rujukan ke rumah sakit daerah ya bu untuk pemeriksaan lebih akurat”
“Lho? Memang ibu sakit apa dok?.”
“Belum bisa saya pastikan, itulah kenapa saya beri rujukan, kalau bisa langsung saja sekarang saja, bisa diantarkan ambulans klinik kami. Saya akan langsung menghubungi pihak rumah sakit by phone untuk segera ditindak lanjuti”
Serasa terpukul godam, berat rasanya mendengar kata-kata dokter.

Rujukan

Belum sempat reda dari kekagetan kata-kata dokter Subhi, aku dan ibu disambut kekagetan lain ketika tiba di rumah sakit daerah yang dirujuk dokter, tim rumah sakit yang menghampiri kami turun dari ambulans klinik agak berbeda penampilannya pada umumnya. Mereka berseragam serba tertutup dari kepala hingga kaki dengan dominan warna putih, aku seperti pernah melihat seragam serupa di televisi akhir-akhir ini.
Aku semakin keleyengan dengan kondisi yang tiba-tiba terasa absurb, mungkinkah ibu terkena virus yang saat ini sedang trending? ah serasa mustahil, ibu orang yang tidak mempunyai kegiatan super, hanya kumpulan pengajian dengan ibu-ibu majlis taklim di komplek perumahan kami.
Bertambah syok, adalah ketika perawat mengatakan ibu harus masuk ruang isolasi selama dua minggu, dan aku tak boleh menengoknya sama sekali. Ya Allah...
Di tengah kebingungan melepas ibu ke ruang isolasi, perawat mempersilahkan aku untuk menemui dokter di ruangannya. Aku ditanya sekitar kegiatan ibu akhir-akhir ini, dan aku memang tidak tahu persis apa yang dilakukannya, hanya sekilas ibu pernah cerita kalau bu Sofia, anggota pengajian majlis taklimnya baru pulang umroh, dan membagikan oleh-oleh khas timur tengah di waktu sebelum kajian.

Isolasi

Status ibu ditetapkan sebagai pasien dalam pengawasan atau dikenal PDP selagi menunggu serangkaian tes yang akan dilakukan dokter
Hari ketiga ibu di isolasi.
 Sedih rasanya tak bisa menemani ibu di saat-saat seperti ini. Aku hanya bisa mengirim pesan singkat, menanyakan bagaimana kondisinya di ruang isolasi.
Alhamdulillah, kondisi ibu stabil, walau terkadang terasa sesak nafas tiba-tiba”
Hari ketujuh, aku video call dengan ibu, nafasnya agak tersengal-sengal, tapi dengan raut tenangnya ibu mengatakan dia baik-baik saja
“Ibu istirahat saja dulu ya, nanti aku hubungi lagi”
Hari kedua belas, aku mencoba menghubungi ibu, namun tak ada jawaban. Aku datang ke rumah sakit untuk memastikan, tapi hanya bisa duduk di peron rumah sakit, memandang lesu ruang isolasi di lorong ujung, entah bagaimana kondisi ibu saat ini di ruang isolasi. Sakit yang tak terpatrikan, membayangkan ibu sendiri di ruang isolasi dengan berbagai kemungkinan yang aku sulit bayangkan.
Rumah terasa makin sepi, hanya aku sendiri. Biasanya harum khas masakan ibu yang selalu memanggil tubuhku untuk keluar kamar dan menghampirinya ke dapur, memastikan masakan apa yang akan dihidangkannya. Namun saat ini, kesepian rumah membuatku bahkan tak berselera untuk makan.

Hari ketiga belas

Aku harus bersemangat, bahkan dalam kadar lebih, untuk ibu. Hari ini aku ke warung nasi bu Cicih di dekat rumah, membeli sebungkus nasi dengan lauk pauknya, aku harus makan, aku harus kuat
“Bu, besok aku ke rumah sakit ya”
Walau WA-ku ceklis satu, tapi aku akan datang, meskipun tidak akan bertemu langsung, tapi aku ingin berada di dekatnya, menemaninya, walau hanya dari lorong rumah sakit.
***
Rumah sakit tampak ramai riuh seperti biasanya, namun ketika akan masuk, petugas keamanan terlihat seperti sedang menempelkan selebaran pengumuman, rasa penasaran membawaku pada kertas yang ditempel itu.
Pengumuman tentang tidak boleh di tengoknya seluruh pasien rawat inap terkecuali penunggu dengan maksimal dua orang dengan tanda penunggu rumah sakit, di tempel di beberapa titik di rumah sakit ini, aku mengkonfirmasi, apakah aku bisa bisa masuk, namun dengan nada tinggi, petugas keamanan itu menjawab tidak, sembari menunjuk kertas pengumuman yang baru saja ditempelnya.
                Dengan lemas aku membalikkan badan, berniat kembali ke rumah saja, daripada berdebat dengan pihak keamanan rumah sakit, pada akhirnya aku harus menyadari, mereka hanya melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan pihak rumah sakit.
                Langkah gontaiku terhentikan dengan bunyi gawai di saku celana jeans ku, nomor yang tertera adalah nomor rumah sakit ini.
                “Dengan mbak Karisma? Mohon maaf kami memberitahukan, bahwa ibu mbak telah meninggal, dan jenazah akan diurus sesuai dengan standar prosedur penanganan yang telah ditetapkan...... “
Entah apa lagi yang diucapkan suara diujung gawaiku, denyar-denyar dikepalaku kian menyiksa, tubuhku melorot dan ambruk di teras rumah sakit, aku tak bisa bergeming dari tempatku bersimpuh.

Pemakaman 

Aku tak bisa melihat wajah ibu untuk terakhir kalinya. Bahkan di pemakaman pun aku tak boleh mendekat, sampai prosesi pemakaman selesai.
Hanya aku dan dua orang paman dari ibu yang mengikuti proses pemakaman, tiada yang lain selain petugas khusus dari rumah sakit yang mengurus pemulasaran.
Setelah semua selesai, para petugas dari rumah sakit undur diri, tak lupa aku mengucapkan terima kasih atas dedikasi mereka yang luar biasa, dengan seragam APD yang lengkap, mereka sigap mengurus jenazah ibu dari penurunan peti hingga selesai pemakaman.
Dengan menahan  air mata, aku mendekat ke pusara ibu, di atas gundukan tanah merah itu aku menyimpan gladiol, bunga kesukaan ibu.
Maka kesedihan itu bukan lagi sebuah tatanan virtual, tapi aku harus menahannya, untuk ibu. Walau akhirnya beberapa bulir air mata itu turun luruh dari pelupuk mataku.
“Maafkan karisma bu, belum bisa mengabulkan permintaan ibu untuk lebih banyak waktu membersamai ibu. Karisma bawakan bunga gladiol merah kesukaan ibu, semoga bisa menemani...”

#Cerpen
#Fiksi

Related Posts

8 komentar

  1. Wah, gara-gara Corona lagi deh...

    BalasHapus
  2. ampun suhu, nembe diajar ngadamel cerpen :)

    BalasHapus
  3. 😭😭😭😭😭 rasa sesak yg begitu mendalam bagi mreka yg terkena musibah ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. tenang, pasien akan ditangani semaksimal mungkin oleh dokter Subhi.... :)

      Hapus
  4. Balasan
    1. belum sekeren cerpen nya papa brother ... hehe
      masih harus banyak belajar :)

      Hapus

Posting Komentar