Sinta Alfatah
Perempuan berusia 25 tahun ini sekarang terbaring lemas dikasurnya, padahal dulu ia adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Sukabumi, setelah mengambil cuti karena sakit yang menghampirinya, kini ia belum bisa kembali ke bangku kuliah karena sakit yang mendera.
Dulu, keinginan untuk kuliahnya merupakan sebuah dilema, karena ia juga harus berempati dengan enam adiknya yang masih harus bersekolah, sebagai sulung, sebenarnya ia juga ingin membantu perekonomian keluarga, atau minimal tidak meminta lagi uang jajan selepas lulus sekolah, tapi tetap ia ingin kuliah.
Keinginan untuk kuliahnya terukir indah dihati, walaupun tetap, idealismenya masih bersinggungan dengan realita keadaaan ekonomi keluarga.
“Mencari ilmu itu wajib hukumnya, walau terdengar klise, saya ingin tetap kuliah” terang perempuan yang hobi menulis cerpen ini.
Agustus 2012 ia memantapkan hati untuk mendaftar kuliah, ia memilih jurusan Pendidikan agama Islam, alasannya sederhana, pembayaran ditempat kuliahnya murah dan bisa dicicil, serta tempatnya tidak jauh dari rumahnya, sehingga bisa mengurangi pengeluaran ongkos.
Namun sekecil apapun itu, administrasi perkuliahan tetaplah nominal yang menggelayut dipikirannya.
Ia menengadah kepada Rabb-nya, meminta solusi terbaik, segala puji bagi Raja semesta Alam, dengan mudahnya Allah menjawab keluh kesah itu, ia di tawari untuk membantu menjaga kantin di tempat ia bersekolah dulu, walau tak seberapa honor yang ia terima, tapi setidaknya napasnya kini tidak terlalu sesak beradu dengan gundah gulananya.
Satu semester sebagai mahasiswa yang menyambi penjaga kantin membuatnya kembali diterpa kegalauan. Apakah ini jalan yang benar?, dipikirannya terpampang kata-kata yang selalu timbul, apakah ia siap dengan empat tahun yang luar biasa?. Pertanyaan-pertanyaan itu menghalangi berkembangnya idealisme dalam dirinya.
“sebenarnya saya yakin dengan Allah yang selalu memberi kejutan-kejutan luar biasa, bahkan dari arah yang tak terduga dalam kehidupan kita. Apalagi kalau hanya masalah biaya kuliah, tapi realita kondisi keluarga ini, membuat saya terkadang down” kenangnya.
Ditengah semangatnya yang naik turun, ujian semester perdana di tahun pertamanya tidak bisa dirampungkan, bukan karena ia belum membayar administrasi kuliah, tapi tubuhnya ambruk, kepalanya pengar tiba-tiba, nafasnya terasa sesak. Dokter mengatakan ia hanya butuh bedrest, mungkin karena terlalu sibuk dengan dunia perkuliahan, apalagi ditengah ujian.
Namun setelah entah berapa purnama, sakit itu tak kunjung pergi, bahkan hari demi hari, sendi-sendi tubuhnya semakin menyusut, juga perlahan tak bisa bergerak. Ia pernah di vonis mengidap tuber colosis atau TBC, penyakit yang menyerang paru-paru, biasanya menyerang para perokok, yah, dia adalah perokok, perokok pasif! lingkungan nya menganggap rokok adalah hal yang lumrah bagi laki-laki dewasa, namun karena kurangnya edukasi, keadaan anak-anak yang akan terkena dampak tidak di indahkan, termasuk ia yang menjadi salah satu korbannya.
Kini ia kembali di vonis penyakit baru, paraplegia, terdengar asing bagi masyarakat awam. Indikasinya dimulai dengan kekakuan di bagian kaki, tulang belakang yang terasa nyeri, dan saluran buang air kecil yang mengalami penurunan fungsi.
Mudah-mudahan cepat sembuh ya...
BalasHapusaminn, hatur nuhun bu pi do'a na
HapusDilema perokok pasif
BalasHapusTidak meroko tapi terkena imbas perokok aktif. Miris...
Semoga lekas sembuh dan kembali nemulis...
orang yang merokonya, kita yang dapet penyakitnya :(
Hapusamiin, terima kasih do'anya teh wi
kuat kak.. semangat ya..
BalasHapusTerima kasih kak Nur
Hapus