Seperti umumnya masyarakat, bulan Ramadhan adalah bulan penuh kebahagiaan dalam keluarga, karena momen makan bersama yang biasanya jarang terjadi di luar bulan ini, seketika menjadi rutinitas, baik di waktu buka maupun sahur. Itu pula yang dirasakan oleh pak Tias dan keluarga kecilnya.
Happy Family Happy Ramadan
Bahkan ada beberapa momen luar biasa yang tidak akan ditemukan di luar bulan mulia ini, salah satunya adalah kuliner khas Ramadhan, biasanya banyak dikonsumsi ketika buka puasa.
“Pak, mau ibu buatkan kolak pisang ga hari ini?”.
“Boleh bu, mantap kayanya nih buat buka puasa”.
Ibu Tias tersenyum melihat rona sumringah suami tercinta dengan rencananya membuat penganan manis khas Ramadhan ini.
Jadilah pisang kepok yang sudah dibeli ibu di eksekusi selepas dzuhur.
Zain yang penasaran dengan aktivitas ibu di dapur, membuatnya antusias membersamai memotong-motong pisang.
“Kayanya Zain belum pernah melihat masakan kolak kalau di luar Ramadhan bu”.
“Iya sayang, kolak ini Cuma bisa kita temuin di bulan Ramadhan aja, jadi kaya ciri khas puasa gitu”.
“Oh gitu ya, jadi ga sabar pingin cepet maghrib”.
Ibu tersenyum simpul mendengar celoteh ragil semata wayangnya.
Ashar Yang Hangat
Adzan Ashar menggema, harum kolak ibu semerbak tercium, Zain yang siap-siap berjama’ah dengan ayahnya. Sepintas ia melirik ke dapur.
“Udah mateng bu kolaknya? Harum banget”.
“Sudah sayang, tinggal nunggu maghrib, sabar ya”.
“Siap mom.” Selorohnya sambil berlalu menuju ruang shalat disamping ruang keluarga.
Bu Tias selalu tersenyum dengan kelakuan anak lelaki satu-satunya, semangatnya dalam belajar puasa menambah semangat ibu untuk menyiapkan menu buka puasa maupun sahur.
Bu Tias mengambil air wudhu, sejurus kemudian menyusul ke ruang shalat, menunaikan kewajiban salat ashar berjamaah.
Kebahagiaan yang tiada tara terpancar dari keluarga pak Tias, bisa merasakan hikmah Ramadhan di tengah pandemi corona, hari-hari yang selalu dilalui bersama setelah work from home dilakukan ayah mengikuti instruksi pemerintah. Jadilah hampir seluruh salat wajib dilaksanakan bersama-sama, khusu’ dalam berjama’ah.
Ayah menengadahkan tangan seusai salat, memimpin munajat keluarga kepada sang Maha Kuasa. Di akhir doa yang mengalir, terdengar ketukan pintu diiringi suara salam dari luar pintu rumah. Ibu segera beranjak setelah selesai mengamini akhir doa sang imam, bersegera membuka pintu, memeriksa sang tamu.
“Waalaikumsalam, eh Samsul. Ayo masuk sul”.
Samsul adalah ponakan pak Tias, baru berkeluarga menuju dua tahun, namun belum di karunia momongan, ia dan istrinya tinggal di sebuah kontrakan tak jauh dari kampung pak Tias, hanya terpaut lebih kurang satu kilometer.
Pak Tias yang masih bersarung menyambut Samsul yang sudah di persilahkan duduk oleh ibu, Zain juga tak lupa menyalami saudara sepupunya itu, kemudian kembali ke ruang salat untuk menyimpan sarung dan pecinya.
Setelah menanyakan kabar Samsul dan keluarga, pak Tias menanyakan maksud kedatangan Samsul yang jarang berkunjung ke rumahnya, karena pekerjaannya sebagai kuli bangunan di Jakarta, sehingga memang hanya sekali dalam dua minggu, bahkan sebulan ia baru pulang ke rumahnya.
“Kayanya wajah kamu serius gitu sul, ada apa nih?”
“Maaf om, sebenarnya saya bukan tak malu datang kesini, tapi juga tak tahu harus kemana meminta pertolongan, listrik di rumah dari semalam sudah mati, saya belum bisa membeli token listrik, jangankan untuk listrik, untuk buka puasa hari ini pun saya...... “ kata-katanya terputus oleh air mata yang sedari tadi ia tahan sekuat mungkin.
“Semenjak ada corona, saya dirumahkan, proyek bangunan diberhentikan sementara, biasanya saya serabutan, tapi akhir-akhir ini belum ada lagi pekerjaan.”
“Maafkan om ya sul, karena juga tidak tahu kondisi keluarga sendiri, Alhamdulillah kamu datang kesini. Nanti kalau ada keperluan apa-apa, jangan sungkan-sungkan untuk datang ke rumah ya”.
Pak Tias beranjak dari dari ruang tamu, menuju dapur di mana ibu sedang siap-siap memasak untuk buka puasa, ibu yang mendengar percakapan paman ponakan ini mengerti betul kondisi ekonomi anak laki-laki almarhum kakak suaminya, dan ia dengan ikhlasnya menyiapkan beberapa liter beras dan mi instan untuk dikemas di kardus kotak bekas kemasan mi sesuai permintaan pak Tias.
“Ibu tambahkan kolak pisang ya pak ke kotak beras dan mienya”.
Bapak mengangguk, seleret senyum tersimpul, seraya bersyukur melihat kebaikhatian sang permaisurinya.
Kotak kardus itu jadilah berisi beras, mi, dan kolak pisang hangat yang ibu kemas dalam kantung plastik bening.
“Sul ini ada beberapa bahan makanan, mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk kamu dan istri, dan ini... “.
Pak Tias mengeluarkan beberapa lembar uang nominal lima puluh ribuan, kemudian menyerahkannya pada Samsul.
Samsul benar-benar tak bisa lagi membendung bulir demi bulir air matanya, rasa syukur membuncah di raganya, hari ini hidupnya serasa tersambung kembali oleh kebaikan sang paman.
Ucapan terima kasih diulang-ulang sampai ia pamit dengan menenteng kotak kardus kebahagiaan untuk dia bersama istri.
#Cerpen
#Fiksi
Ending
Samar-samar Zain mendengar dan menyaksikan keharuan paman ponakan ini dari ruang salat. Bocah yang akan beranjak ini delapan tahun ini meresapi arti memberi yang memberi kebahagiaan kepada orang lain, namun hati kecilnya berharap mudah-mudahan kolak yang sedari siang diidamkan tidak semuanya di masukan ke dalam kotak dus.
Wah, sama ya kolak juga untuk puasa...kolaknnya mau dikirim ke plb tuh makanya dimasukin kotak hehehehe
BalasHapusjangan-jangan di palabuan mah kolak na terbuat tina layur... :)
Hapus