Tarawih malam ke-1
Tahun ini, di ruang keluarga sederhana tiga kali empat, keluarga pak Tias memutuskan untuk tarawih berjama’ah di rumah saja bersama keluarga, pak Tias mengikuti anjuran pemerintah untuk menjalankan ibadah di rumah ditengah pandemi corona, walau sebagian tetangganya masih ada yang berangkat ke Masjid, namun ini sudah diputuskan bersama istri, dan diamini Zain, anak sulungnya yang berusia tujuh tahun, walau sebenarnya dia ingin ke mesjid bersama teman-temannya, menikmati keseruan tarawih sembari main petasan.
“Yah, kita shalat Tarawihnya delapan rakaat kan?”
“Iya nak, di tambah tiga raka’at shalat witir, jadi sebelas”.
“Loh, koq nambah?”.
“Iya, shalat witir itu untuk menyempurnakan shalat Tarawih kita.”
“Ah. Aku ga mau ditambah, salat tarawihnya mau delapan aja, yang tiga itu.. apa namanya? bukan tarawih kan?”.
Ibu dan pak Tias saling berpandangan, tersenyum demi mendengar argumen anak laki-lakinya yang mulai belajar salat tarawih.
Jadilah malam pertama itu, salat tarawih asli delapan rakaat untuk Zain, dia bersikukuh dengan pendapatnya, sedang pak Tias tetap melanjutkan meng-imami witir sang istri.
Tarawih
Tarawih malam ke-2
“Kalau kita ga salat witir ga apa-apa kan yah?”.
“Shalat Tarawih itu sunah Muakad nak, jadi sangat dianjurkan.”
“Hmm..., aku mau satu rakaat saja ah, bisa kan? Witir itu artinya ganjil kan? Satu kan ganjil juga.”
“Boleh... “. Kali ini bu Tias menjawab lembut permintaan anaknya.
Pak Tias beserta istri kembali berpandangan, kembali tersenyum dengan tingkah polah anak laki-lakinya yang masih tetap semangat ikut tarawih walaupun sepertinya Zain kecapean akibat euforia buka puasa.
Maka jadilah, setelah selesai delapan rakaat, Zain istirahat tidur-tiduran di sejadah, menunggu ayah dan ibu menunaikan dua rakaat witirnya, setelah itu ia ikut bergabung di satu rakaat terakhir. Betapa kuat tekad dan pendirian ragil pak Tias ini.
Belajar Tarawih
Tarawih malam ke-3
“gimana? Masih kuat buat tarawihnya?”.
“Kuat dong ya, malam ini aku aku mau melengkapi tarawihnya sama witir”.
“Tumben?”.
“Kata mamah, pahala witir itu besar sekali, seperti unta merah yah”.
“Oo... tapi yang paling utama kita belajar ikhlas karena Allah ya salat nya”.
Maka salat malam ketiga dilalui dengan khusuk, di pimpin pak Tias dengan alunan merdu surah fatihah dan surah-surah dari juz tiga puluh.
Namun di rakaat-rakaat terakhir, Pak Tias tak mendengar suara amiin dari Zain, hanya suara khas ibu menyahut ujung fatihah pak Tias.
Ketika di penghujung witir, pak Tias mengucap salam mengakhiri raka’at ganjilnya, kemudian membalikkan badan memeriksa kondisi istri dan anak semata wayangnya sembari tetap melantunkan dzikir. Ibu Tias tampak tersenyum melihat sang imam menoleh kepadanya, sembari meraih tangan kanan dan di ciumnya penuh hidmat, namun Zain... ternyata dia ketiduran di sajadahnya, sepertinya dia kelelahan tak kuat menahan tertutupnya kelopak mata. Ibu dan pak Tias kembali beradu mata, tersenyum simpul dan menahan tawa melihat semangat anaknya yang kalah oleh kantuk.
Ending
Saum Zain sangat semangat, berbanding lurus dengan semangatnya mengumpulkan segala jenis makanan kesukaannya sembari menunggu buka puasa, dan tatkala adzan maghrib berkumandang , waktu yang di tunggu tiba, ibarat membalas dendam, semua makanan yang ditimbunnya satu persatu dilahap dengan penuh suka cita, namun hal ini berimbas terhadap tarawihnya, semangat untuk melaksanakan salat tak sejurus dengan kekuatan badannya yang kelelahan, akhirnya mata Zain menyerah di detik-detik raka’at terakhir, pun witirnya belum terkhatamkan.
Aneh yg org Indonesia malah takut pocong dr pd virus corona.
BalasHapussalah kamar mbak ita... :)
Hapus