Ini adalah salah satu cerita perjalanan dan dinamika antara aku dan anak didikku.
Menjadi seorang guru adalah keberkahan tersendiri, bagaimana tidak, kita bertemu dengan murid-murid setiap hari, mengajar dan menjadi orang tua saat mereka berada di sekolah. Tidak hanya Wali Kelas atau bagian Bimbingan dan Konseling, tapi semua guru tanpa terkecuali adalah sosok yang seyogianya menjadi sosok ayah dan ibu kedua bagi mereka.
Belajar Menjadi Pendengar Yang Baik
Mendengarkan cerita anak didik adalah momen interaksi yang membuat ikatan guru dan murid semakin terasa, seperti pernah suatu waktu seorang murid laki-laki kelas XII -dua belas- meminta waktu untuk berbincang, sebelum kami mengobrol, latar belakang anak ini sudah di mafhumi sebagai anak yang luar biasa mandiri, tinggal dengan kakeknya setelah orang tua mereka bercerai, ibu bekerja sebagai asisten rumah tangga di perantauan, sedang ayah entah ke mana melepas tanggung jawabnya. Kali ini dia bercerita tentang kakeknya yang menjadi tulang punggung keluarga yang sedang sakit, dia berpikir untuk mengambil alih tanggung jawab itu dan berhenti sekolah.
Rahasianya Adalah komunikasi
Anak itu tegar, walau sesekali terlihat bulir air matanya mengembang tertahan. Berada di antara dua pilihan memanglah tidak mudah, tapi berhenti sekolah bukanlah pilihan, apalagi ketika sudah berada di kelas akhir. Bersyukur komunikasinya tidak putus, tak terbayangkan jika dia mengambil keputusan sendiri untuk berhenti sekolah tanpa meminta pertimbangan.
Akhirnya setelah berdiskusi hangat tentang masalah yang dihadapinya, anak yang aktif di OSIS ini bisa menerima saran untuk tetap melanjutkan sekolah, tanpa harus memikirkan biaya terlebih dahulu. Sedang untuk masalah kakeknya, setelah ditanyakan adakah keluarga lain seperti paman dan bibinya yang bisa diajak berkomunikasi terlebih dahulu untuk membantu perekonomian keluarga, dia seperti tercerahkan dan setuju untuk menghubungi saudara-saudaranya yang masih ada, dan alhamdulillah beberapa waktu kemudian dia kembali bercerita bahwa beberapa keluarganya yang lain telah membantu setelah mengetahui kondisi kakeknya yang sedang sakit.
Dan menjadi kebahagiaan ketika bisa mengantarkan anak didik kita sampai gerbang kelulusan, apalagi terhadap anak-anak yang kita tahu berjuang luar biasa dalam masa tiga tahun pendidikan, secarik kertas ijazah adalah simbol bahwa perjuangan di kelas sudah berakhir, dan penanda agar anak membuka mata untuk menghadapi tahapan selanjutnya dalam kehidupan. Ada yang memilih melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, beberapa memilih untuk mencari pekerjaan, bahkan beberapa alumni murid perempuan sudah ditunggu jodohnya ketika ujian akhir telah usai.
Merantau ke Negeri Jiran
Kembali ke murid laki-laki tadi, dia berencana untuk bekerja, dan dalam suatu kesempatan ceritanya, dia mengungkapkan bahwa dia akan bekerja merantau ke negeri jiran. Sebagai guru, doa adalah untaian yang bisa dipanjatkan untuk setiap murid, apa pun keputusan yang diambil setelah lulus, berharap itu adalah jalan terbaik yang juga Allah ridai. Juga ada kebanggaan tersendiri, ketika setiap anak sudah bisa belajar mengambil keputusan penting dalam hidupnya dengan mempertimbangkan matang-matang segala kemungkinan.
Beberapa waktu berlalu, media sosial adalah satu-satunya yang masih bisa menyambungkan komunikasi, dan melihat perkembangan sang anak. Beberapa kali di postingan facebook-nya ada unggahan proses untuk pemberangkatan bekerja di Malaysia, mulai dari persiapan dokumen, pemeriksaan kesehatan sampai akhirnya sebuah foto di bandara ketika akn menaiki pesawat, pertanda perantauannya akan dimulai.
Sama-sama kuli bangunan
Apa pekerjaannya di negeri orang?. Dia menjadi kuli bangunan di sebuah proyek rumah sakit di salah satu negara bagian Malaysia. Tanpa sungkan beberapa kali unggahan gambar saat bekerja ada di beranda media sosialnya, dengan safety tool mulai dari helm, rompi sampai sepatu, lengkap digunakannya. Di bawah gambar ada beberapa kalimat takarir untuk menyemangati dirinya sendiri sebagai orang yang bekerja di perantauan. Namun di setiap kata-kata yang ditulisnya seperti tersirat bahwa makna ‘hanya ini’ yang bisa diraihnya dalam dunia pekerjaan.
Rasanya dia membutuhkan penyemangat lebih selain dari dirinya sendiri, maka inbox facebook via gawai menjadi alternatif untuk menghubunginya, menanyakan kabar dan kondisi pekerjaannya. Untuk lebih menyemangatinya terkirimkan pula sebuah gambar lawas ketika dulu bekerja, gambar diri dengan menggunakan seragam ala-ala tukang kuli proyek, mulai dari sepatu sampai helm, sama seperti penampakan dia. Dia menyahut dengan nada penasaran, ‘Bapak pernah bekerja di proyek bangunan?’.
Akhirnya terceritakanlah, sebelum mengajar, menjadi kuli proyek di beberapa gedung Jakarta pernah digeluti sebagai mata pencaharian. Walau sedikit berbeda, karena bidang kelistrikan yang digeluti pada masa dulu. Tapi siapa pun yang pernah bekerja di sebuah proyek bangunan, pasti pernah sama-sama merasakan menggunakan ala-alat keamanan mulai dari helm sampai sepatu.
Lecutan Hidup
Tiada maksud lain, menceritakan pengalaman yang sama sebagai orang yang bekerja di proyek bangunan adalah untuk menularkan energi positif yang semoga dapat diserapnya, bahwa setiap kita mempunyai alur hidup yang berbeda, dan kita termasuk yang harus memulai berjuang dari nol. Itu bukan sebuah aib, tapi sebuah lecutan hidup dan bisa juga menjadi batu loncatan serta pengalaman berharga dalam hidup kita.
Siapa Yang Tahu Takdir?
Kita tidak pernah tahu pasti ke mana perjalanan hidup membawa kita. Seorang yang pernah menjadi kuli proyek bangunan kemudian menjadi guru? Seperti agak janggal. Beberapa teman mengajar pernah bertanya, apakah benar dulu pernah jadi kuli proyek bangunan? atau juga teman-teman di proyek pernah bertanya, apakah benar sekarang berprofesi sebagai guru?. Demikianlah hidup, penuh misteri.
Semoga sedikit kisah di proyek sebuah gedung di ibu kota itu menjadi tambahan asupan semangat anakku dalam menjalani hari-harinya di negeri perantauan, karena memang tak mudah bekerja di area keras seperti itu, terlebih di negeri orang. Apalagi kontrak tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar dibandingkan bekerja proyek bangunan di negeri sendiri yang berstatus buruh harian, yang bisa kapan pun berhenti tanpa terikat perjanjian.
Kini dia sudah kembali ke tanah kelahirannya, Indonesia. Belajar membuka usaha sendiri dengan beternak lele. Semoga dengan modal pengalaman, dan pundi-pundi ringgit yang ditabung, menjadi peluang baru dalam kehidupannya, dan membuka lembaran baru sebagai seorang wirausaha di negeri sendiri. Dan semoga setiap jerih payahnya berbanding lurus dengan kesuksesannya kelak.
Sebuah proses adalah keniscayaan yang harus kita lalui dalam hidup, namun semangat untuk terus melakukan perubahan ke arah yang lebih baik harus terus terpatri tanpa putus asa. Karena dengan itulah kita mengetuk pintu Tuhan, memperlihatkan bahwa kita bukan sosok penyerah, tetap menjalani skenario-Nya dengan antusias dan meyakini setiap kita diberi jalan cerita terbaik.
Demikian salah satu cerita perjalanan mengajarku dengan salah satu anak didikku. Semoga banyak siswa yang tetap semangat menyelesaikan sekolahnya, no matter what happen.
Baca Juga:
Posting Komentar
Posting Komentar