Shalat dhuha dan mengaji bersama menjadi pembuka proses pembelajaran di sekolah kami, tak terkecuali di pagi jum’at itu, setelahnya pembelajaran baru dimulai dikelas masing-masing.
Mata Pelajaranku
Bahasa inggris adalah jadwal untuk kelas sepuluh hari itu, terpilih di jam pertama, dengan harapan daya tangkap para siswa masih segar, apalagi untuk menghadapai mata pelajaran yang untuk sebagian siswa dianggap menakutkan.
Tema yang akan disampaikan adalah tentang recount, sebenarnya ini adalah pertemuan kedua, karena fungsi sosial dan struktur teks nya telah dipelajari jum’at sebelumnya. Recount sendiri adalah jenis karangan yang dibuat dengan tiga struktur; orientation, events, dan re-orientations. Atau dalam bahasa Indonesia bisa dipahami sebagai pengenalan cerita, rangkaian kejadian, dan simpulan akhir cerita. Yang berbeda dari jenis karangan lainnya seperti narative, recount harus berdasarkan kisah atau pengalaman nyata yang di alami oleh penulis, sedangkan narative lebih berorientasi pada fiksi.
Jadi, hari itu rencananya adalah, siswa akan diberi tantangan untuk menuliskan salah satu kisah nyata yang dialami oleh masing-masing, baik kisah senang maupun sedih. Untuk memudahkan penyusunan karangan tersebut, siswa diberi contoh membuat kerangka sebagai dasar pembuatan karangan, kemudian teks disusun dahulu dalam bahasa Indonesia, kemudian baru dialih bahasakan ke dalam bahasa Inggris.
Tampaknya siswa dikelas sudah paham dengan penugasan ini, karena secara garis besar sudah diberikan gambaran pada minggu sebelumnya tentang pembelajaran untuk hari ini. Maka ketika selesai memberikan pengarahan, siswa langsung beraksi dengan alat tulis masing-masing, mencurahkan salah satu memori yang tersimpan di pikirannya ke dalam bentuk tulisan.
Proses pembelajaran berlangsung lancar, namun beberapa siswa menyerah diakhir pembelajaran, dan meminta perpanjangan waktu karena tugasnya belum selesai, sedangkan sebagian besar mengumpulkan buku tugasnya ketika bel berbunyi menandai akhir pembelajaran dua jam pertama.
Recount Mereka
Tidak adanya jam mengajar di jam berikutnya membuat lebih leluasa untuk langsung melakukan pemeriksaan buku tugas anak-anak. Dari dua puluh delapan siswa di kelas sepuluh itu, rata-rata recount yang dibuat adalah kisah dari pengalaman bahagia mereka, dan jalan-jalan bersama keluarga menjadi tema umum dalam ceritanya, sedangkan pantai Pelabuhan Ratu menjadi tempat liburan yang mereka narasikan dalam tulisannya.
Dari sekian cerita mainstream yang mereka tuturkan, ada satu yang berbeda. Re-orientation nya adalah sad ending, sedangkan tema besar yang dipilihnnya adalah keluarga, lebih tepatnya keretakan keluarga.
Di paragraf pertama, tertuliskan pengenalan tentang keluarganya, tentang orang tua yang mempunyai dua orang anak. Cerita mengharu biru dimulai di paragraf kedua, ketika dia mencurahkan hati di tulisan penanya, tentang orang tuanya yang memilih bercerai setelah tak menemukan titik temu damai dalam hubungan mereka, namun yang membuatnya sedih adalah kedua orang tuanya bersepakat untuk mengambil masing-masing satu dari anak mereka. Siswa yang dikenal pendiam ini diasuh oleh ayahnya, sedangkan adik perempuan satu-satunya diambil alih pengasuhanyan oleh sang ibu.
Di akhir paragraf dia menumpahkan rasa sedihnya yang tak terkira, karena semenjak itu dia tidak pernah bisa bertemu dengan adiknya sama sekali, terakhir yang ia tahu bahwa ibu dan adiknya kembali ke jawa tengah sebagai tempat asal kelahiran ibunya, namun di daerah mana alamat pastinya, dia tidak pernah tahu.
Hari-harinya penuh dengan kemuraman, tidak ada lagi kehangatan kasih seorang ibu di rumahnya, tidak ada lagi sosok adik tempatnya bercengkrama, bermain, bahkan bertengkar untuk masalah-masalah receh. Kini ia hidup dengan sang ayah yang jarang berkomunikasi, membuatnya lebih banyak menghabiskan hari-harinya dalam keheningan.
Serasa sesak membaca setiap kata yang dituturkan anak didik ini, betapa tidak, fenomena anak yang di yatimkan secara paksa ibarat bongkahan bola salju, karena data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia -KPAI- sendiri, jumlah anak korban perceraian sangat signifikan hari demi hari.
Pantaslah hari-hari di kelasnya sang anak terlihat sangat jarang berkomunikasi dengan teman-teman sekelasnya. Ternyata coretan kisahnya menyibak sedikit tentang tekanan psikologisnya yang terpisah dari saudara kandung satu-satunya.
Ah, ingin sekali memeluk rasa dukanya dan menjadi pelipur keheningan sanubarinya. Dia harus tahu bahwa sekolah adalah keluarganya, guru adalah orang tuanya, temen-teman di kelas adalah saudara-saudaranya.
Mengobrol
Jam istirahat dimulai, tertanda dengan bel pemberitahuan yang berpusat dari ruang tata usaha. Sang anak dipanggil, kemudian ruang bimbingan dan konseling dipinjam untuk mengobrol. Pertama-tama tentu saja adalah apresiasi untuk tulisan recount-nya, dengan beberapa catatan dalam versi bahasa inggris yang harus diperbaiki. Kemudian ditanyakanalah tentang isi dari karangannya, ia seperti terkejut dan agak ragu akan berbicara ketika ditanya hal tentang keluarganya, tapi sejurus kemudian, bak kran air yang terbuka salurannya, ia dengan tertunduk menceritakan tentang kondisinya dan sang ayah, kerinduan terhadap ibu, terlebih terhadap adik kandungnya.
Ia terlihat tegar, tutur katanya datar seperti tak beremosi, entah karena memang terlalu dalam rasa sakit yang dirasakan hatinya. Namun sesuai tujuan obrolan ini, ia harus sadar, bahwa ia tidak sendiri, ada keluarga baru yang ia miliki, keluarga besar sekolah tempat ia belajar saat ini.
Di akhir obrolan, ia berterima kasih atas apresiasi tulisannya dan ucapan terima kasih karena telah peduli dengan masalah yang ia punya, dan ia berjanji akan berusaha dan lebih membuka diri untuk berkomunikasi, baik dengan teman-teman maupun dengan guru-guru sebagai keluarga barunya.
Sebelum ia kembali ke ruangan kelasnya, tiba-tiba rasa penasaran menimbulkan sebuah pertanyaan pada gadis ini, bagaimana rasanya sekolah di madrasah aliyah?. Ia menjawab, bahwa ia sangat bersyukur bisa melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lingkungannya tidak mengganggu dirinya.
Apa maksudnya tidak mengganggu?. Ternyata ia kembali bertutur, ketika di sekolah sebelumnya, ia sangat sering diganggu dan menjadi bahan olok-olokan oleh teman-temannya karena sifat pendiamnya yang tak melawan. Ternyata ia mengalami perundungan yang berlarut di sekolah sebelumnya, mulai dari yang bersifat verbal sampai fisik, mungkin ini pula yang menyebabkan ia jarang berinteraksi dengan teman-temannya di kelas saat ini, rasa traumanya terhadap perundungan yang ia alami masih berbekas.
Nasibmu nak, sudahlah menjadi korban perceraian orang tua, ditambah dengan perundungan yang menimpamu.
Pantaslah Kementrian Agama melalui Pendidikan Madrasahnya sangat menganjurkan sekolah untuk menjadi ‘Sekolah Ramah Anak’, sekolah yang bisa memenuhi hak setiap anaknya untuk mendapatkan ilmu sebagai murid, dan pendapatkan pengayoman dan kasih sayang dari guru sebagai orang tua di sekolah, serta terciptanya suasana hangat seperti keluarga diantara sesama teman sekelasnya.
Terima Kasih
Terima kasih nak, karena sudah berani bercerita tentang dirimu walaupun dengan kalimat yang terpatah-patah, semoga hari-harimu ke depan di madrasah bisa menjadi lebih baik. Terima kasih karena telah mengingatkan kami untuk jadi orang tua yang harus belajar lagi untuk mengasah dan mempertajam kepekaan pada setiap kondisi anak yang kami hadapi di kelas.
Semuanya Tentang Keluarga
Keluarga yang sempurna adalah impian setiap orang, namun menjalaninya bukanlah hal yang mudah, tapi begitu berdinamika. Namun, semoga apapun ujian yang dihadapi dalam bahtera keluarga, jangan sampai pernah anak yang menjadi tumbal egoisme orang tua, jangan sampai mereka berorangtua rasa yatim.
Jangan pula hanya mengandalkan sekolah untuk mendidik anak menjadi manusia paripurna, tapi butuh kerja sama antara guru serta ayah bunda, mendidik sepihak ibarat memberikan asupan gizi yang tak lengkap empat sehat lima sempurna. Apakah kita rela anak-anak kita mengalami psikosomatis, berhati renta kamudian menjalar ke raga?.
Pak Yonal guru Bahasa Inggris ya? Kisah yang ditulid Bapak di sini sedih sekali. Lebih sedihnya lagi, karena kasus seperti ini juga terjadi pada jutaan anak yang lain. Kita di sekolah seringkali yang harus berperan jadi comfort zone, tapi sayangnya masih ada banyak yang masih luput dari perhatian.😟
BalasHapusIya kak saya mengajar Bahasa Inggris
Hapussepakat sekali kak, kasus seperti ini ibarat gunung es yang terus bergulir.
Semoga semua komponen sekolah bergerak untuk bertindak aktif menangani anak-anak yang butuh penanganan khusus