Pandemi korona belum tampak akan berakhir dalam waktu dekat, dunia -dan juga Indonesia- masih harus bertahan dan bersabar dalam memeranginya. Walau segala sendi kehidupan yang terdampak mulai memperlihatkan kelesuan, namun tak ada pilihan lain selain melawan dengan bijak.
Pendidikan dan Corona
Dunia pendidikan yang tak luput
dari dampak wabah korona ini, juga mulai kewalahan dengan sistem pembelajaran on
line sebagai salah satu usaha dalam mengendalikan penyebaran korona. Lebih
kurang enam bulan, guru dan murid berteman dekat dengan monitor gawai atau
komputer, demi memenuhi hak dan kewajiban dalam proses belajar dan mengajar.
Kita yang ditakdirkan menjadi
makhluk sosial memang tak mudah beradaptasi untuk berlama-lama bergumul dengan
sekat monitor. Andai bisa memilih, pastilah pembelajaran dengan tatap muka di kelas
akan lebih menjadi pilihan prioritas dibandingkan dengan pembelajaran on
line. Namun memang kita tak boleh berkompromi, korona ini bukan main-main.
Berbeda dengan siswa yang tetap
belajar di rumah, guru dengan beberapa kewajiban administrasi yang harus
dilaksanakan, mengharuskannya untuk datang sesekali ke sekolah. Karena guru tak
hanya memberikan materi di belakang layar, menjadi guru di Indonesia berarti
harus siap dengan seabreg administrasi kerja yang harus dilaksanakan. Walaupun
harus disyukuri, beban administrasi itu sedikit berkurang semenjak Nadiem
Makarim merombak dan menyederhanakannya ketika ia dilantik menjadi Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan.
Datang ke sekolah untuk
melaksanakan kewajiban administrasi, guru juga tetap waspada dengan tetap
menjaga protokoler kesehatan. Beruntung sekolah memfasilitasi alat-alat untuk
menunjang hal tersebut, dimulai dari masker, face shield, hand sanitizer,
sampai ruangan yang telah disemprot desinfektan.
Yang paling terasa berbeda saat
datang ke sekolah di masa korona ini adalah suasana lingkungan sekolah yang
sepi. Tak ada siswa-siswi di kelas, kantin yang tetap tutup, dan lapangan olah
raga yang biasanya selalu ramai pun kini menjadi hening. Dan satu lagi, tanaman-tanaman
yang berada di sekitar sekolah kini rindang berbuah, tak ada yang memanen!. Biasanya
jambu air yang belum matang pun tak pernah bersisa, bahkan cermai belanda yang
masamnya aduhai, tetap menjadi buah rebutan.
Jumlah guru yang tak berbanding dengan jumlah murid, tak bisa mengalahkan cara makan buah-buahan yang mereka habiskan dalam sekejap. Jadilah beberapa buah di taman sekolah itu masak di pohon, tanpa ada yang memetiknya. hati ini lebih senang jika buah-buahan yang ditanam dapat diambil manfaatnya dengan dimakan, dari pada berbuah tapi tak bertuan.
Penutup
Ah korona, segeralah berakhir. Agar
sekolah ini kembali hidup, agar tanaman-tanaman yang kami pelihara dapat di petik
dengan cerianya oleh tangan-tangan atraktif nan cekatan. kami para guru menikmati gelak tawa mereka yang bergelantungan di pohon, seraya menikmati petikan buah matang, pun yang masih muda masam. Bukan begini, seperti saat ini,
kita memanen dalam kesepian.
Posting Komentar
Posting Komentar