Pada suatu waktu, aku melihat di toko seberang jalan, seorang perempuan masuk, langkahnya tegap dan matanya menyorot tegas, tak berapa lama ia keluar, masih dengan ketegap tegasannya.
Lain hari, kulihat lagi dua orang laki-laki berjalan, yang satu berbadan gempal, usianya sepertinya baru melewati seperempat abad, ia memegang tangan laki-laki di belakangnya, laki-laki yang sudah berumur, berkaca mata hitam!
Lain waktu, seorang laki-laki berpakaian serba hitam tetiba membuka tas –yang lebih mirip karung- yang juga berwarna hitam, panampakannya seperti salah satu suku di Banten, namun yang kutahu mereka tak pernah bertingkah polah bak sosok itu.
Aku harus selalu siap-siap, karena setelah dari toko seberang jalan itu, mereka akan menghampiriku juga. Aku harus belajar kebaikan dari sang penjaga toko seberang, selalu tersenyum kepada siapa pun yang datang, walau hati kecilku bertanya-tanya, layakkah mereka menerima senyum dan layananku.
Perempuan bermata tegas, laki-laki muda berbadan gempal, dan sosok yang berpenampakan sok gothic itu menurutku sedang berakting, namun mereka tak terlalu lihai. Namun sekali lagi, aku harus belajar mengangkat bibirku, supaya tercipta simpul senyum untuk menyambut mereka.
Ya, pada akhirnya mereka datang juga. Aku menyambutnya, dan menyiapkan apa yang mereka minta, Alakadarnya. Akupun harus menimbang, karena akan juga datang sosok-sosok lain yang harus aku sambut. Sosok lain yang benar-benar membutuhkan penyambung hidup, datang dari satu pintu ke pintu lain demi kelangsungan hidup.
Titel yang disematkan pada mereka sama, pengemis. Namun latar belakang yang menyebabkan penyematan nama itu bervariasi. Dari penampilannya kita bisa menerka, apa hal yang menyebabkan mereka mengais rezeki dengan memposisikan tangan di bawah.
Di belakang meja tumpukan buku yang tokonya kutunggu, seuntai harapan kumunajatkan pada Tuhan. Semoga kita selalu terjaga dari sifat peminta-minta, cukuplah Allah sebagai tumpuan harapan dan ikhtiar maksimal untuk menjemput rezeki halal.
Posting Komentar
Posting Komentar