Pengesahan Omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada Senin (5/10/2020) menuai pro dan kontra di masyarakat. Di DPR sendiri, dari sembilan fraksi, hanya Partai Demokrat dan Partai keadilan Sejahtera yang menolak seluruh hasil pembahasan RUU Cipta Kerja. Dengan sedikitnya suara yang menolak, RUU Cipta Kerja akhirnya disahkan menjadi undang-undang.
Demonstrasi Menyuarakan Ketidaksetujuan
Penolakan paling
kentara terlihat dari mahasiswa yang mengatasnamakan masyarakat yang menolak
undang-undang cipta kerja ini. Mereka turun ke jalan, berdemo menyuarakan
ketidaksetujuan atas hasil rapat DPR yang dianggap akan merugikan para buruh. Selain
para mahasiswa, beberapa cuplikan di beberapa media sosial juga terlihat para
murid STM yang juga ikut andil turun ke jalan. Tak ketinggalan, serikat buruh yang
menjadi objek bahasan juga menjadi garda terdepan yang menyuarakan suara kontra
mereka.
Melakukan demonstrasi menjadi salah satu cara menyuarakan aspirasi masyarakat yang dilindungi undang-undang. Gerakannya dilindungi undang-undang pasal 28, yaitu kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, dan sebagainya. Namun berdemo juga memiliki peraturan tersendiri tentang perizinan kepada aparat, penanggung jawab, dan teknis lain seperti tujuan, tempat, dan jumlah masa yang akan berdemo.
Benarkah Demo Mewakili Aspirasi Rakyat?
Hal mengganjal
menjadi pertanyaan dengan turunnya beberapa elemen yang menyuarakan
ketidaksetujuan dengan cara berdemo ini. Apakah mereka paham benar dengan
masalah yang mereka yakini untuk diperjuangkan?. Dari teriakan-teriakan dalam
demo tersebut sering sekali diulang kalimat ‘cabut omnibus law’, tapi apakah
mereka tahu poin mana saja dari 15 bab yang terdiri dari 174 pasal dalam undang-undang cipta kerja yang
mereka tolak?. Atau apakah mereka mengerti apa omnibus law itu sendiri?.
Demo atas nama rakyat kecil seyogianya harus mencerminkan suara rakyat itu sendiri. Tidak perlu melakukan perusakan, terlebih pada aset-aset yang tidak berhubungan dengan objek demo. Tidak perlu kantor Kementerian ESDM dilempari batu, tidak perlu juga halte Transjakarta harus dibakar.
Semoga saja elemen yang mengatasnamakan masyarakat ini benar-benar paham dengan gerakan yang dilakukan. Tahu apa itu omnibus law, dan tahu setiap detail pasal yang tidak disetujui. Bukan gerakan atas dorongan sifat reaktif dengan kondisi yang terjadi, atau karena sekedar ikut-ikutan, atau bahkan takut disebut tidak memiliki rasa solidaritas. Karena sejatinya masyarakat akan mendukung jika memang apa yang dilakukan benar-benar dilandasi niat berjuang demi masyarakat.
Referensi:
2. finansial.bisnis.com
3. news.detik.com
Betul bangett
BalasHapusTema blognya bagus.
HapusTerima kasih mbak Nirma
HapusMiris sih emang ketika niat sudah baik, rencana disusun sebaik mungkin untuk menghindari kerusakan. Tapi ketika sesuatu tidak berjalan pada mestinya hmmm....kerusuhanpun tidak bisa dihindarkan. Entah disusupi lah, entah memang oknum yang sengaja membuat keributan. Terkutuk memang, karena sejatinya yanh dirusak adalah fasilitas umum yang tentunya akan menyebabkan kerugian secara materi dan fungsi.
BalasHapusAniway, Untuk demo yang tenang sepertinya kita perlu melihat sejarah demonya Badshah Khan dan Mahatma Ghandi, sepertinya hanya kedua tokoh itu yang melawan tanpa menggunakan kekerasan.
Ya kang, banyak cara lain melawan yang lebih elegan. Najwa Shihab pun sudah memberi contoh bagaimana dia menyuarakan ketidaksetujuan dengan versinya
HapusIni jawaban yang aku maksud saat bnyak yg bertanya, mengapa aku sbgai mahasiswa tidak ikut turu k jalan.
BalasHapusTapi ya namanya aku, susah bet ngomongnya.
Jadinya debat deh ngaler ngidul wkwk..
Btw makasih ka, tulisannya. Skrg aku fhma cara ngejelasinnya
Turun ke jalan pun ga apa-apa kak yul, asal sesuai aspirasinya dan bisa menjaga etika selama demontrasi berlangsung
Hapus