Edited from Canva |
“Ih, kalian pikir punya
banyak anak itu enak?, nih ya dengerin, kalau pagi-pagi kita nyuapin
tiga anak, yang umur satu sama yang umur tiga tahun berebut pengen
disuapin duluan, yang umur enam tahun malah ikut-ikutan rewel pengen di
suapin juga, akhirnya pecahlah tangisan tiga bocah, kita rasanya jadi pemimpin
paduan suara, bayangkan gimana pusingnya? Sedangkan bapaknya enak saja
lanjut makan tanpa terbebani suara tangisan mereka”. Retno sangat antusias
bercerita tentang repotnya mengurus tiga anak kepada dua teman sesama gurunya
yang kebetulan belum dikarunia momongan.
Istirahat Sekolah = Waktunya Ghibah
Lina dan Pita tak kalah seriusnya
mendengarkan celotehan Retno, perempuan paruh baya yang berstatus pegawai
negeri sipil, tentang pengalaman mengurus anak. Bagi mereka ini adalah sebuah
petuah, belajar dari sang maha senior tentang bagaimana chaos-nya
berurusan dengan anak, terlebih jika sang suami tak ikut andil mengurus.
Jadilah jam istirahat itu menjadi
bahan ghibah yang luar biasa, karena pembahasan tentang mengurus anak
berubah tema menjadi ‘betapa tak tahu dirinya suami Retno’ yang tidak peka,
yang tak pernah membantu mengurus anak-anak, yang tetap santai sarapan, walau
anak-anaknya sedang berebut suapan sang ibu.
“Makanya kalian pastikan pada
suami kalian masing-masing dari sekarang, jika punya anak nanti, mereka harus
bisa bantu, supaya kita tidak kelelahan”. Retno sangat bersemangat memberi
kesimpulan di akhir cerita, setelah ia berbusa-busa menjelek-jelekkan suaminya
sendiri.
Lina dan Pita mengangguk-angguk
tanda mengamini ucapan Retno, mereka berdua ibarat kerbau yang diikat kendali,
turut dengan pak tani yang menyuruhnya membajak. Mereka juga bersepakat dalam
hal pemikiran tentang sosok Yana, suami Retno yang hanya berprofesi sebagai
staf administrasi di sebuah perusahaan penerbitan buku indie. Dua kata untuk
Yana dari mereka berdua, ‘suami bangsat’.
Obrolan seru tiga guru perempuan
ini berakhir dengan ditandai bel masuk setelah istirahat, mereka kompak melirik
jam dinding yang menterakan pukul sepuluh lebih tiga puluh, tanda pelajaran jam
kelima harus dimulai. Jadilah mereka bergegas ke meja masing-masing, menyiapkan
buku ajar dan bahan pendukung lain, seraya bersiap-siap masuk kelas.
***
“Belum ada makanan mas, aku belum
sempet masak, tadi kecapean habis pulang ngajar.” Retno yang sedang istirahat
rebahan dengan gawai yang setia di tangan kanan, menyambut Yana yang baru
pulang kerja dengan berondongan kalimat alasan ia tak bisa menyediakan makan
untuk sang suami.
“Iya, nggak apa-apa sayang.” Jawab
sang suami sambil tersenyum mendengar sambutan pulang dari Retno.
Yana kemudian menyimpan tas, lalu
menyingsingkan kemeja tangan panjang abu-abu yang ia kenakan. Sejurus kemudian
ia beranjak ke dapur untuk memasak. Namun kemudian ia menunda dulu niatnya
membuat sesuatu untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan, karena ia
disambut dengan tumpukan piring kotor di tempat pencucian. Maka ia memilih
untuk membersihkan dulu piring-piring berminyak di hadapannya.
Ending
Dalam hati kecilnya, Yana ingin
sekali-kali pulang ke rumah setelah bekerja disambut dengan segelas teh hangat,
atau makanan yang telah tersaji untuk kemudian langsung ia makan. Tapi nyatanya
tidak.
Yana lebih memilih berdamai
dengan keinginan ego sebagai suami, dan konsekuensinya, ia akhirnya terbiasa
dengan pekerjaan-pekerjaan domestik rumah tangga. Mulai dari menyuapi makan
anaknya, mencuci, sampai menyiapkan makanan untuk keluarga.
#fiksimini
Posting Komentar
Posting Komentar