Misa sedang asyik berkutat dengan
buku-bukunya ketika sang ibu masuk ke kamar. Begitu fokus dan seriusnya gadis
SMP kelas sembilan ini, hingga kedatangan ibunya dikamar seolah sama sekali tak
mempengaruhinya.
Tindak tanduk misa akhir-akhir ini di rumah
di luar kebiasaan, hal ini dirasakan sang ibu agak janggal, ada rasa senang
karena misa lebih banyak bergumul dengan buku-bukunya karena akan menghadapi
ujian akhir dikelas akhir SMP nya, namun disisi lain misa semakin hari dirasa
semakin menarik diri dari komunikasi dengan anggota keluarga lain selain
dirinya; adik, dan juga ayahnya.
Misa Awaliyah Yang Pintar
Di kalangan ibu-ibu tetangga, banyak yang
memuji dengan prestasi gadis yang bernama lengkap Misa Awaliyah ini, misa
dikenal baik dalam berteman dilingkungan rumahnya, di sekolahnya pun ia selalu
menjadi langganan bintang kelas setiap semesternya.
Namun, ketika tiba-tiba misa dikabarkan
sakit dan tersebar kabar dia terkena TBC, para tetangga yang notabene
ibu-ibu itu mulai bergunjing, ko bisa gadis 15 tahun itu terkena
penyakit yang rata-rata menyerang para perokok.
“Mis sudah diminum obatnya?” ibu misa
memberi pertanyaan yang sebenarnya tak butuh jawaban, karena ia tahu Misa
adalah sosok yang disiplin, pun dalam mengonsumsi obat-obat resep dokter, di
meja belajarnya pun ia melihat bekas sobekan alumunium foil pembungkus pil
merah besar yang sudah Misa konsumsi rutin tiga kali sehari dalam empat bulan
terakhir.
Misa menengok mamahnya sebentar, namun
tangannya tak lepas dari buku yang sedari tadi ia baca. Ibunya memperhatikan
dengan seksama putri pertama di keluarganya itu, gadis berwajah oval itu semakin
hari semakin menjadi sosok pendiam di rumah, namun gurat wajahnya tetap tegar
walau sekarang dia harus duduk di kursi roda.
“Mah, besok jadwal kita ke dokter ya?”.
“ Iya sayang, tapi besok kita ke dokter
syaraf ya” suara ibu misa terdengar lebih lirih. Kadang ia merasa kasihan, di
usia belianya, misa harus pulang pergi ke beberapa dokter setiap minggunya.
Bermula ketika misa mengalami demam dan sesak napas, dokter memvonis dia
terkena TBC yang mengharuskannya mengonsumsi obat secara teratur tanpa henti
selama enam bulan, belum selesai sampai di situ, ketika baru tiga bulan dengan
TBC-nya, tiba-tiba kakinya menjadi kaku dan tak bisa di gerakan, maka dokter
bagian dalam yang rutin kami datangi memberikan surat rujukan ke dokter tulang,
namun baru dua kali berkonsultasi, dokter tulang pun kembali merujuk Misa ke
dokter syaraf.
Misa berhenti membaca dan memutarkan kursi
roda ke arah ibunya. Ia menatap kepada sosok ibunya dengan raut penuh hormat.
“Mah, misa minta maaf ya karena selalu
merepotkan mamah” suaranya lembut sarat permohonan.
Suara misa mengingatkan ibunya saat-saat
misa awal masuk SMP favorit yang selama ini diidam-idamkan. Keceriaannya tak
terbendung manakala beberapa sahabat terbaiknya juga diterima di sekolah yang
sama, ia merasa bahagia karena akan selalu bersama-sama dengan beberapa teman
terbaik sekolah dasarnya. Namun seiring waktu berlalu, perlahan situasinya
mulai berubah!
Dalam keluarga, bukan kebahagiaan yang
akan selalu kita jalani, namun dinamika hidup yang akan menemukan kita dengan
dua sisi kehidupan, dan seiring berjalannya waktu kita akan terus belajar
meyikapi kehidupan dengan bijak. Misa belajar menjadi lebih dewasa, ketika
menginjak kelas tujuh SMP bersamaan dengan kelahiran adiknya, seorang bayi laki-laki.
Adik laki-laki misa saat ini berusia dua
tahun enam bulan, usia di mana siapa pun yang melihatnya sebagai sosok malaikat
lucu, sehingga ayahnya yang bekerja sebagai buruh bengkel di luar daerah yang
biasanya pulang dua minggu atau sebulan sekali, kini selalu menyempatkan pulang
setiap akhir minggu di waktu liburnya demi menemui anak laki-laki yang selama
ini sangat ia inginkan.
Misa ketika masih sehat, walaupun
disibukkan dengan sekolah barunya, selalu menyempatkan waktu membantu ibunya di
dapur atau sekedar mengasuh adiknya ketika ibu sedang mengerjakan sesuatu.
Kini ibu misa bertanya-tanya dalam hati,
ke mana sosok misa yang dulu? Misa yang selalu ceria ketika bertemu dengan
teman-teman sekolahnya, misa yang selalu semangat ketika bekerja kelompok
mengerjakan tugas sekolah, dan Misa yang selalu memperlihatkan jiwa mengayomi
ketika sedang bercengkerama dengan adiknya.
“Mamah kenapa? Ko kaya melamun?” Misa
memperhatikan riak air wajah ibunya dengan seksama.
“Hmm... enggak sayang, kamu jangan pernah
bilang begitu, mamah tidak merasa direpotkan oleh putri cantik mamah” jawab ibu
misa sambil menatap mata Misa yang bening dan tulus.
“Terima kasih mamah selalu ada buat misa”
ucapnya terdengar manis, sambil lalu memutar kursi roda ke tempat tidurnya.
“Iya sayang, insyaAllah mamah akan
berusaha yang terbaik untuk misa” ucap ibu sambil memperhatikan kedua tangan
anak sulungnya mengayun kursi roda secara perlahan, meninggalkan kesan mandiri
dimata ibunya.
Sekilas ibu mengitarkan pandangannya ke
kamar misa itu, tempat tidur itu telah bercokol di sana hampir delapan tahun.
Di sinilah saksi anak gadisnya menjadi sosok yang pemberani namun juga sensitif
disisi lain sebagai sosok perempuan yang mulai tumbuh remaja, pikir ibu yang
mendadak melankolis.
“Maaah....... “ suara itu membangunkan ibu
dari melankolisme yang menyergap hatinya. Suara tegas dan lirih itu mengandung
magnet yang selalu menyedot perhatiannya, ibu sudah benar akan hal itu.
“ Ya, sayang....!” ibu menghampiri misa
yang berada disamping tempat tidurnya.
“Menurut ibu, aku masih bisa sembuh gak?”
perempuan belia itu memberikan pertanyaan yang membuat ibu merasakan sesak tak
terkira.
“InsyaAllah sayang, Allah pasti
melihat perjuangan mu yang luar biasa yang tak kenal menyerah, kita sudah
berikhtiar maksimal, pasti Allah akan memberikanmu kesehatan” tegas ibu
menguatkan misa.
“Mamah lebih sayang misa atau adek?”
Pertanyaan misa tiba-tiba
“Dua-duanya anak mamah, jadi ya di sayang
dua-duanya dong” jawab ibu mencoba tenang dengan keanehan pertanyaan misa,
walaupun belum terlalu paham juga dengan maksud yang tersirat dalam pertanyaan
itu.
Senyum di bibir misa kembali tersimpul
manis dibalik rasa sakitnya.
“Aku kira mamah lebih sayang adek,
tapi Alhamdulillah mamah ternyata sayang aku juga”.
“Tapi kayaknya adek lebih
beruntung, dia disayang sepenuhnya oleh mamah dan ayah”
Ibu sama sekali tidak bisa menebak jalan
pikiran misa. Misa kini serasa telah berubah menjadi misteri. Gadis itu menjadi
sensitif, dibalik kelembutan, tulus dan mulia hatinya. Dan itu membuat hati ibu
misa menjadi terheran-heran sekali.
Ingin sekali ibunya memberikan pengertian
tentang kasih sayang orang tua, ketika tetiba terdengar suara adik misa yang
masih balita terjaga dari tidurnya.
“Adek bangun mah” sungguh tak tersirat
nada kecemburuan terhadap adiknya, jengkel atau marah, diucapkan dengan nada
datar dan wajar, setidaknya begitu yang terdengar ibu misa.
“Baiklah, kamu istirahat ya sayang, besok
kita ke dokter, mamah sudah minta izin ke wali kelasmu untuk tidak sekolah
dulu”
“ya, mah” jawab misa singkat.
Ibu memeluk misa, berharap bisa memberikan
kehangatan dan kekuatan dalam menjalani masa-masa sulit untuk gadis belia itu
dalam menjalani masa sakitnya.
Tapi juga teka-teki sikap misa masih
menjadi pertanyaan besar bagi ibunya. Apakah ini dampak dari bertubi-tubinya
sakit yang di alaminya yang berpengaruh ke emosionalnya? Pertanyaan itu masih
berputar-putar dan menghilang, menguap, sementara ketika terdengar kembali
tangisan adik misa dikamar sebelah, sebuah pertanda ibu harus undur dari kamar
itu.
“ adik nangis mah” tutur misa memberitahu ibunya.
Kehadiran Sang Adik
Ibu merasakan ayah misa sangat bahagia
ketika anak kedua lahir, dia berusaha mengabulkan cita-citanya untuk mensyukuri
proses kelahiran dengan meng-aqikah-kan bayi rupawan itu, dua kambing jantan!
Tak lupa diundanglah sanak saudara serta ibu-ibu tetangga.
“Wah lengkap sudah rasanya melihat
keluarga kalian, sudah ada Misa yang cantik dan pintar, sekarang ditambah
kelahiran bayi lucu ini” ujar Bu Retno tetangga sebelah rumah.
“Bayinya selain lucu kayanya bakal calon
ganteng nih” tukas bude rani disambut derai tawa keluarga dan tetangga yang
hadir. Wajah ayah tersipu-sipu, dalam hati tentu saja dia sangat bahagia dan
bangga akan dirinya.
“Kudengar kalian sampai program kehamilan
khusus demi berusaha mendapatkan anak laki-laki ya?” selidik pakde Ramli, paman
dari ayah Misa.
“Iyaa...,” jawab ayah berlagak mengangkat
bahu.
“Kami dulu sampai berkonsultasi masalah
program kehamilan yang kedua ini, dari mitos kebiasaan sampai aturan makan kita
coba” ayah Misa dengan antusiasnya menjelaskan bagaimana asal usul proses
kehamilan istrinya.
Sesungguhnya setiap proses kehamilan
memang istimewa, tapi kali ini ayah Misa memang sangat bersemangat, dia
berusaha sebisa mungkin untuk peduli kondisi istri dan jabang bayi yang
dikandungnya, di sela-sela istirahat kerjanya digunakan untuk menelepon
ke rumah, sekedar menanyakan bagaimana kondisi kehamilan permaisuri hidupnya.
Maka tatkala waktu kelahiran yang
ditunggu-tunggu telah tiba, dan bayi berjenis kelamin laki-laki itu lahir
dengan normal dan sempurna, pecahlah tangis bahagia ayah Misa sambil
meng-adzani dikuping kanan dan meng-qomati dikuping kirinya.
Sejak malam itu, hidupnya serasa bertambah
gairah, ayah misa meminta izin ke bengkel barang beberapa hari untuk menemani
istri dan pangeran baru di keluarganya.
Semua memaklumi rasa pedulinya yang
tiba-tiba sangat luar biasa kepada keluarga, karena keluarga besarnya memahami
keinginan ayah Misa yang ingin mempunyai anak laki-laki.
Berita tentang kebahagiaan ayah Misa kala
itu dalam sekejap menyebar di kalangan tetangga. Bahkan berita itu dibumbui oleh
ibu-ibu sekitar rumah bahwa ayah misa lebih sayang bayi laki-lakinya
dibandingkan dengan Misa!. Tentu saja kabar itu juga sampai ke telinga misa.
Namun anehnya misa sama sekali tak menampakkan kemarahan.
“Yah namanya juga bayi baru lahir, pasti
kelihatan lebih disayanglah, kan bayi memang lagi lucu-lucunya dan
menggemaskan”.
Itulah kalimat yang terucap dari mulut
misa, ketika teman-temannya membecandainya kalau sang ayah lebih sayang kepada
adiknya dibandingkan dia.
*****
Ketika adik laki-laki misa lahir, dia
selalu menampakkan kepedulian dan rasa sayang kepada adiknya, dari membantu
menyiapkan air hangat untuk memandikan atau sekedar mengasuh jika kebetulan ibu
ada pekerjaan di dapur.
“Kemarin ibu dengar waktu belajar bersama
di teras, teman-teman kamu bilang kalau ayah mungkin lebih sayang adik
dibandingkan kamu”. Kata ibu suatu kali.
“Iyah, teman-teman memang begitu kalau
bicara suka kelewatan kadang-kadang. Tapi Misa paham ko, mereka hanya bercanda
mah” pintas Misa meralatnya.
Ibu misa merasa amat iba dengan ketulusan
hati anak gadisnya. Kadang ia merasa bersalah, karena waktu yang dulu seratus
persen dicurahkan untuk misa, kini lebih banyak digunakan untuk mengurus adik
laki-lakinya.
“Misa percaya mamah akan selalu sayang Misa.
Ya kan?”.
“Tentu sayang, mamah janji tidak akan
mengabaikan Misa dan juga adikmu. Kalian adalah buah hati mamah, kebanggaan
mamah”.
“Amiin!” sambung misa terdengar serius.
Bertemu Dokter
Ibu dan Misa datang ke rumah sakit pada
jam sembilan pagi. Ada cukup banyak pasien yang juga sudah datang diruang
tunggu.
Bagi mereka ini adalah ke sekian kalinya kunjungan
ke rumah sakit, namun hari ini dokter syaraf yang akan mereka kunjungi, sesuai
rujukan dari dokter tulang yang mereka
temui minggu sebelumnya.
Walaupun konsultasi dengan dokter tulang
baru dua kali mengenai kondisi persendian misa yang tetiba menjadi kaku hingga
susah di gerakan apalagi untuk berjalan, dokter menyimpulkan bahwa selain
tulang-tulang persendian kaki misa dalam kondisi yang tidak baik, juga
kemungkinan kekakuan sendi-sendi tulangnya dipengaruhi oleh syaraf, maka sang
dokterpun memberikan rujukan kepada dokter syaraf untuk mencari second
opinion tentang penyakit yang dialami misa.
*****
Tertera jelas dari kursi tunggu pasien
nama dr. Ratni Mulyani di papan yang tergantung di pintu praktik. “Oh, ini nama
dokter yang akan kutemui hari ini” tukas misa dalam hatinya.
Nomor antrean sembilan erat di genggaman
ibu misa. Ibu masih bersyukur mendapatkan antrean di bawah nomor sepuluh
di antara banyaknya pasien yang akan berobat hari itu.
Diam-diam mata ibu sering mencuri pandang
ke arah misa yang duduk di kursi roda. Anak gadisnya tampak tetap cantik walau
harus duduk di kursi roda, dengan kaos kasual berwarna biru muda.
Sementara misa dan ibu di rumah sakit,
adik misa dititip ke bude rani yang kebetulan rumahnya tidak berjauhan.
Tak lupa beberapa popok, makanan bayi
serta beberapa mainan di masukan ke dalam tas bayi sebelum bude rani menjemput
adik misa.
Empat puluh menit sudah berlalu, perawat
memanggil pasien nomor delapan untuk masuk ke dalam ruangan praktik dokter, ada
rasa kaku di hati misa ketika bertemu dengan orang-orang baru, pun dokter
syaraf ini, “ seperti apa ya orangnya?” celetuk mira dalam hati.
Sampai tibalah pasien nomor delapan keluar
ruangan, dan berganti perawat memanggil nomor yang sedari tadi setia di tangan
ibu. Ibu mendorong kursi roda misa
memasuki ruangan praktik disambut senyum hangat perawat yang mempersilahkan
mereka duduk.
Akhirnya Misa bertatap wajah dengan dokter
Ratni, wajahnya teduh dengan jas putih ciri khas praktik dokter, dibalut celana denim dan kaos biru gelap yang sepadan dengan setelan bawahannya menambah kesan anggun.
Ibu menyerahkan berkas dari tempat
registrasi dan juga surat rujukan dari dokter tulang, dokter Ratni menerima
berkas dengan senyum indahnya, kemudian dengan serius membaca surat rujukan
itu.
“Bisa ibu ceritakan kembali dari awal
bagaimana kondisi... , hmm... Misa yah namanya?” pinta dokter Ratni kepada ibu.
Permintaan yang serupa ketika dua minggu lalu bertemu dokter tulang untuk
pertama kalinya.
Mulailah ibu menceritakan panjang lebar bagaimana
misa sampai berada di kursi roda ini, berawal dari demam dan sesak napas,
menjalani rawat inap, di diagnosa mengidap TBC, sampai akhirnya menginjak bulan
ke tiga kaki misa terasa kaku, sulit di gerakan sampai akhirnya mengalami
kelumpuhan.
Dokter Ratni dengan seksama mendengarkan
kronologis dari ibu, sesekali memanggut-manggutkan kepalanya.
“Betul apa yang dikatakan ibumu nak?”
tanya dokter Ratni kepada misa sambil mengalihkan pandangan kepada gadis yang
sedari tadi hanya duduk tertunduk saja.
“Betul dok” misa menjawab sambil menengadahkan
wajahnya, membalas tatapan dokter Ratni yang teduh itu, ada rasa nyaman ketika
matanya bertatapan dengan dokter berusia lima puluh tahunan itu.
“Dari cerita ibu dan juga keterangan dari
rujukan dokter tulang, diagnosa awal saya, misa mengalami paraplegia” dokter
memberi penjelasan kepada ibu dan juga misa.
“Apa itu dok?” tanya ibu penasaran dengan
istilah baru yang didengarnya.
“Paraplegia ringkasnya adalah kondisi
di mana bakteri menyerang persendian bawah, ini yang menyebabkan tulang kaki
misa terasa kaku dan otot-otot di sekitarnya mulai mati rasa” jelas dokter
memberikan keterangan tambahan.
“Ini baru diagnosa awal, untuk lebih
meyakinkan, kita bisa melakukan CT Scan pada Misa” cetus dokter Ratni dengan nada serius namun
tetap lembut.
“Tapi biasanya paraplegia pada penderita
TBC terjadi jika TB-nya sudah akut atau lama tak terobati, sedang misa baru
empat bulan ya sampai saat ini?” dokter Ratni bertanya dan menatap dengan
hangatnya pada Misa.
Misa menganggukkan wajah tanda mengiyakan
pertanyaan dokter, Misa merasakan ajakan interaksi dokter semakin membuatnya
merasa nyaman dalam berkomunikasi.
“Hmm....
adakah yang merokok di rumah?” selidik dokter, kali ini tatapannya
beralih pada ibu.
“Ayah!” jawab Misa tiba-tiba mendahului
ibu, jawaban singkat dengan nada jelas dan meninggi.
“Sampai saat ini masih merokok?” kembali
dokter bertanya pada pasangan ibu dan anak ini.
“Iya...” kali ini jawaban ibu dan misa
hampir serempak.
“Hmm... ok, selanjutnya misa, apakah
mengalami rasa sakit ketika buang air kecil?” tanya dokter, kembali menyelidik
misa.
“Iya dok” kali ini jawaban misa tak
terdengar kaku, lebih bersahabat
Ibu merasa kaget, karena ia tak tahu,
putrinya belum pernah bercerita tentang rasa sakit itu.
“Hmm..., apakah misa suka merasa mual?”
kali ini pertanyaan dokter semakin dianggap aneh oleh ibu.
“Iya dok” kembali misa mengamini
pertanyaan dokter, dan ini membuat ibu semakin tak karuan.
“Muntah?” tanya dokter singkat.
“Iya dok, tapi muntahnya jarang, seringnya
mual saja” terang Misa pada dokter, sedang ibu semakin merasa kaget dengan
pengakuan anak gadisnya.
“Paraplegia ini kasusnya jarang, tapi saya
pernah juga punya pasien dengan kasus serupa misa, bahkan anak-anak, kalau
tidak salah dulu pasiennya masih kelas enam SD, sangat mirip dengan misa, tapi
kondisinya lebih parah karena buang air kecilnya sudah harus dibantu alat,
juga kondisi emosionalnya tidak stabil, karena dia merasa kurang diperhatikan
orang tuanya setelah kelahiran adiknya, pasiennya mengalami muntah akut bahkan
sampai tiga kali sehari” kalimat-kalimat dokter mengalir menceritakan
pengalaman serupa Misa.
“Aku juga benci ayah! Ayah pernah
membentakku sehingga aku tidak berani lagi untuk sekedar menatapnya, ayah tidak
pernah memelukku lagi kalau pulang kerja seperti dulu-dulu, sepertinya hanya
adek yang ada di pikirannya!” entah kekuatan apa yang menyemburkan kata-kata
yang selama ini terpendam di dada Misa.
Tetiba Ibu tak kuasa lagi mendengar apa
yang diutarakan Misa, serasa ada petir menghajar kepalanya yang semakin
berdenyaran, dadanya serasa sesak, walaupun mencoba tegar, air matanya sulit
tertahan, ia menatap Misa dengan kasih yang dalam. Inikah misteri yang
tersimpan dibalik segala sikap dan tindakan anak gadisnya akhir-akhir ini.
Dokter Ratni masih tenang mendengarkan
curahan hati Misa, ia percaya Misa butuh untuk mencurahkan apa yang selama ini
ia rasakan.
“Ibu, dari keterangan misa yang sering
mual bahkan sampai muntah, kemungkinan lain Misa mengalami psikosomatis, yaitu
kondisi mental atau pikiran misa yang tertekan yang berpengaruh ke kondisi
badannya yang semakin drop. Saran saya, ibu komunikasikan ini dengan
suami, sebaiknya jangan merokok dilingkungan dalam rumah, terutama di depan
anak-anak, di mana sistem imun mereka masih sangat rentan, kalau bisa ajak suami
anda ketika nanti misa berobat selanjutnya” seru dokter pada ibu.
Denyar-denyar dikepala ibu belum hilang
ketika dokter memberikan resep obat dan juga surat pengantar untuk jadwal
berobat selanjutnya.
Dengan tenaga yang masih tersisa, ibu
pamit dari ruang praktik dokter Ratni sembari mendorong kursi roda Misa.
Di balik gorden ruangan praktik, tanpa bergeming dari tempat berdirinya, dokter Ratni bisa melihat bagaimana pasangan ibu anak ini menyusuri selasar rumah sakit . Samar seleret senyum hangat menghiasi bibirnya yang tanpa polesan, berharap kali kedua check up, rona wajah Misa lebih bersinar dibandingkan pertemuan awal mereka.
Saya tunggu kelanjutan ceritanya ya, Pak :)
BalasHapusga bersambung kak Nia
HapusNekt dong pak...
BalasHapusPenasaran kbr misa selanjutnya ðŸ˜
Keren ceritanya
bikin lagi nih lanjutannya?
HapusBaru tahu penyakit ini. Next, Thor!
BalasHapusBase on the real story kak din
HapusKisah nyata nggak sih ini pak
BalasHapusFiksi bu, tapi diambil dari kisah nyata sebagian
HapusMisa lekas sembuh yaaa
BalasHapusAmin, matur nuwun mbak dwi
HapusFyuuuh...langsung teringat masa kecil bunda yang juga harus terkena bronkhitis gegara sekitar merokok. Bukan hanya rokok, tapi rupanya usaha sablon mamang juga menambah parah. Thinernya itu bahaya.
BalasHapusMudah2an tidak ada lagi Misa Misa berikutnya... :(
Amin. Sehat terus ya bun
HapusPak yoo
BalasHapusSemoga lekas sembub Misa. Ya ampun tak bisa membayangkannya
Amin. Terima kasih teh novi
HapusIni fiksi, kan, ya, Pak Yo? Huhu terharu gitu sama perjuangan Misa.
BalasHapusFiksi base on the real story mbak des
HapusBaru denger istilah paraplegia, btw kisahnya bagus banget dan mengalir
BalasHapusBahaya banget paraplegia itu mbak santi
HapusIni masih to be continued kan ya? Hua penasaran banget kelanjutannya
BalasHapusunfortunatelly ga mbak Riza
Hapuswah Pak Yonal ini guru apa sih? hwaaaa ceritanya mantep banget bikin fiksinya aku mau berguru ini ><
BalasHapusSaya ngajar Bahasa Inggris Kak Rahma
HapusAwal baca kirain cerita tentang sakitnya pak yonal kemaren, ternyata tentang misa. Baca ini jadi teringat anak-anak, semoga selalu diberikan kesehatan. Amin ya Allah
BalasHapusAmin, smeoga sehat selalu mbak nafis
HapusSemoga rona wajah Misa bersinar di hari esok dan seterusnya :)
BalasHapusAmin. Terima kasih mbak dewiq
Hapusrapi tulisannya, aku kalau nulis masih suka lupa tanda baca. Apalagi kalau fiksi tanda bacanya banyak banget
BalasHapusSaya juga masih belajar mbak. masih banyak yang harus diperbaiki
Hapus