Pekan
terakhir bulan November lalu adalah selebrasi kelulusan Open Recruitment
(OPREC) Komunitas One Day One Post. Salah satu yang special adalah beberapa
lulusan terbaiknya diberikan beberapa bingkisan dari panitia. Buku ‘Jalan Sunyi
Para Penulis’ karya M.S. Wijaya dan alumni 267 adalah buku yang datang di awal
Desember sebagai salah satu kenang-kenangan dari acara OPREC tersebut. It’s
cool, sudahlah acaranya penuh dengan ilmu, gratis, dan dapat buku pula.
Kali
ini, kita akan membahas buku keren ‘Jalan Sunyi Para Penulis’, semoga bisa menjadi
inspirasi bagi penikmat literasi dan semakin meneguhkan kita untuk tetap ajeg
di jalan kita sebagai penulis.
Menulis Itu Perjuangan
Aku yakin setiap tulisan punya pembacanya masing-masing. Seperti apa pun tulisan, pasti ada pembacanya (seperti jodoh), yang perlu aku lakukan adalah terus belajar, menulis, dan melakukan semuanya dengan sepenuh hati. (MS Wijaya dalam Jalan Sunyi Para Penulis, halaman 202)
Jalan Sunyi Para penulis
merupakan buku antologi cerpen dengan tema perjalanan para kontributornya dalam
menggapai cita-cita menjadi seorang penulis. Ada banyak ragam cerita yang
tersaji berdasar pengalaman masing-masing penulis untuk menggali kembali
kenangan perjalanan hidupnya untuk menelurkan sebuah karya.
Perjalanan Panjang Menjadi Seorang Penulis
Ada banyak pelajaran yang
dapat di petik dari setiap cerpen 22 kontributor di antologi ini, salah satunya
cerita pendek berjudul ‘pada suatu hari nanti’ dari MS Wijaya. Bercerita tentang perjalanan
panjangnya sampai ia menjadi seorang writerpreneur. Kesuksesan itu tidak datang
tiba-tiba, tapi penuh perjuangan, bahkan sempat putus asa yang menyebabkan ia
berniat untuk mengakhiri hidupnya beserta naskah tulisannya yang juga ia
tenggelamkan ke dasar sungai.
Kita tidak akan bisa menebak
rencana Tuhan, bahkan tidak bisa menerka, samakah niat kita dengan kenyataan
yang akan terjadi. Sesaat 'aku' dalam cerpen yang terinspirasi dari kisah nyata
itu akan menyusul naskah yang telah dilemparkannya terlebih dahulu ke sungai,
tiba-tiba teleponnya berdering dan suara seseorang di seberang sana
memberitahukan bahwa ia telah lolos untuk ikut dalam workshop Be Kraf yang
diadakan oleh lembaga pemerintah non kementerian yang fokus pada pariwisata dan
ekonomi kreatif.
Ia bangkit dari keterpurukan,
kembali menata cita-citanya yang hampir kandas. Workshop tiga hari di kota
hujan Bogor diikutinya dengan seksama, dan hasilnya sungguh telah mengubah
dirinya untuk kembali semangat menulis, karena kini ia telah meyakini bahwa
setiap tulisan akan mempunyai pembacanya masing-masing.
Masih banyak cerita yang
tersaji yang akan memberi kita pelajaran bahwa meraih impian, pun untuk menjadi
seorang penulis, akan banyak tantangan yang harus dihadapi. Berhasil atau
tidaknya impian dapat tercapai dengan usaha, doa, disiplin dan komitemen
terhadap apa yang kita inginkan.
Ada Gedung Putih di Sisi Rel Garut
Selain
di dominasi oleh cerita tentang perjalanan panjang para kontributornya untuk menjadi
penulis, dalam antologi yang di terbitkan oleh penerbit Binsar Hiras ini, ada
juga cerita perjalanan tentang seorang ‘Mang Idin’ yang ditulis oleh Andy Agus.
Dalam
Cerpen yang berjudul ‘Gedung Putih di Sisi Rel’ ia menceritakan pengalaman
hidup Mang Idin yang hidup tanpa keluarga di usianya yang sudah menginjak 60
tahun. Alih-alih mengeluh dengan masalah yang dihadapinya, ia malah mengisi
masa senjanya dengan mengabdikan diri untuk membantu masyarakat.
Tekadnya
untuk mengabdi menjadikannya seorang sukarelawan yang disegani oleh rekan-rekan
sejawatnya, bagaimana tidak, di usia pensiunnya ia masih aktif mengerjakan apa pun
yang dapat berikan sebagai bentuk pengabdiannya. Hal ini yang akhirnya membawa
sosok Mang Idin ke daerah Garut untuk membantu membangun sebuah sekolah gratis
yang letaknya tepat di samping sebuah rel kereta. Di sana ia membantu apa pun
yang dapat ia lakukan, termasuk salah satunya mengecat bangunan tersebut dengan
warna putih yang membuatnya menjadi bangunan yang terlihat sangat bersih.
Selain
mengecat bangunan, sosok yang sudah berambut putih ini juga sangat semangat
untuk membantu hal lain. Menyapu, memasang paving block, sampai membantu
membuatkan taman untuk gedung sekolah tersebut.
Selepas
selesainya membantu dalam pembangunan gedung sekolah tersebut, ia sempat
bingung harus ke mana lagi ia melangkahkan kaki di usianya yang tak lagi muda. Syahdan,
juragan atau mandor bangunan akhirnya mengajak Mang Udin untuk kembali ke
Bandung bersamanya. Ia sangat senang, pekerjaan ikhlasnya berbuah kebaikan pula
untuk masa hidup di hari-hari selanjutnya.
Konklusi
Sebagai orang yang baru
belajar menulis, antologi cerpen setebal 344 halaman ini telah banyak memberi
motivasi tentang the big why saya menulis. Ada banyak sudut
pandang, bahkan beberapa
di antaranya berlatar pengalaman pahit. Namun tidak ada hal perih yang tidak
menjadi hikmah di akhir cerita. Cerpen-cerpen di buku ini memberikan pesan
bahwa akan ada selalu kebaikan dan bahkan kekuatan untuk melalui hari-hari yang
dihadapi.
Untuk teman-teman yang juga sedang mencari jawaban kenapa kita harus memperjuangkan cita-cita menjadi seorang yang terjun di belantara aksara, buku ini sangat layak dikoleksi dan pasti bisa menjadi motivasi untuk kita tetap memberi setitik andil pada dunia literasi di bumi pertiwi, dan semoga jalan kita sebagai penulis dapat menjadi jalan terbaik dalam hidup kita, seperti tagline dalam buku ‘Jalan Sunyi Para Penulis’ yaitu menulislah untuk sehatkan jiwa dan hidupi raga.
Penulis : MS Wijaya dan teman-teman alumni 267
Penerbit : Binsar Hiras
ISBN : 978-623-6679-13-5
Cetakan pertama, Oktober 2020, 344 halaman
Review Buku Derana: Guru Yang Teguh
Review Buku Degaling
Subhanallah, nggak kebayang segimana terpuruknya sampai mau nekat mengakhiri hidup. Untung tiba2 ada telepon masuk.
BalasHapusJalan-Nya memang benar-benar penuh misteri.
begitulah mas... setiap kita punya jalan masing-masing dalam menempuh cita-cita. Semoga tetap semangat
Hapus